Bisnis.com, JAKARTA - Meski kenaikan tarif rata-rata tertimbang cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23%, tetapi khusus sigaret kretek tangan (SKT) tarifnya akan lebih rendah dibandingkan dengan jenis rokok lainnya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengestimasi, kenaikan tarif CHT untuk SKT hanya berada pada kisaran 10%.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan bahwa penaikan tarif CHT merupakan implikasi dari keputusan pemerintah yang tidak menaikan tarif CHT tahun 2019.
"Ya ini kan naiknya rapelan, tahun lalu enggak naik," kata Suahasil, Senin (16/9/2019).
Suahasil tak menjelaskan secara rinci tentang alasan perbedaan kebijakan yang ditempuh pada 2019 dan 2020. Dia juga menyanggah jika keputusan pemerintah yang tidak menaikan tarif CHT tahun 2019 berkaitan dengan momen pemilihan presiden (Pilpres) April 2019.
"Ya waktu itu memang diputuskan untuk tidak naik," jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah mengaku telah mempertimbangkan berbagai akibat dari rencana penaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% pada 2020.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, pemerintah menyadari bahwa sektor cukai rokok ini banyak keterkaitannya dengan sektor lainnya yaitu industri, tenaga kerja, dan petani baik petani tembakau maupun cengkeh.
Namun pada saat ini terjadi peningkatan prevalensi perokok secara global dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok pada usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, demikian halnya untuk perokok perempuan dari 1,3% menjadi 4,8%.
Sebagaimana diketahui fungsi dari pungutan cukai hasil tembakau adalah untuk pengendalian konsumsi rokok (legal maupun ilegal), menjamin keberlangsungan industri dengan menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya, dan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
"Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka mulai 1 Januari 2020, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23% dan menaikkan harga jual eceran [harga banderol] dengan rata-rata sekitar 35%," kata Nufransa Jumat (13/9/2019).
Adapun, menurutnya, kebijakan tarif cukai dan harga banderol tersebut telah mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor).
"Secara prinsip, besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang di mana tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah daripada sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin," jelasnya.
Otoritas fiskal menambahkan, untuk mengamankan kebijakan tersebut agar efektif di lapangan, pemerintah tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran di bidang cukai.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen (UGM), dalam 3 tahun terakhir Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% pada 2018, dan pada 2019 diperkirakan berhasil ditekan menjadi 3%.
Dengan adanya kebijakan kenaikan cukai ini dimungkinkan akan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Oleh sebab itu, perlu penguatan sinergi dengan TNI, Polri, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya dalam mencegah tumbuhnya kembali peredaran rokok ilegal.