Bisnis.com, JAKARTA - Kapasitas fiskal daerah (KFD) dari 34 provinsi di Indonesia masih belum beranjak dari posisi yang ada.
Terhitung sejak 2017, jumlah provinsi dengan kategori KFD sangat rendah tetap mencapai 9 provinsi hingga 2019.
Adapun jumlah provinsi dengan kategori KFD sangat tinggi tetap berjumlah 4 provinsi sejak 2017 hingga saat ini.
Hanya 5 provinsi yang menyandang kategori KFD tinggi, dan 16 provinsi sisanya masih menyandang kategori KFD sedang dan rendah masing-masing sebanyak 8 provinsi untuk kedua kategori tersebut.
Apabila ditilik lebih lanjut, keempat provinsi dengan kategori KFD sangat tinggi tetap terpusat di Pulau Jawa yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Provinsi Papua yang sempat menyandang kategori KFD sangat tinggi pada 2017 justru jatuh ke kategori sangat rendah pada 2019.
Merujuk pada PMK No.126/2019 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, KFD dihitung dengan rumus pendapatan daerah dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan dan belanja tertentu.
Komponen dari pendapatan mencakup pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain yang sah.
Adapun yang dimaksud dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya antara lain pajak rokok, Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT), DBH SDA Dana Reboisasi, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Nonfisik, Dana Otonomi Khusus, Dana Tambahan Infrastruktur, dan Dana Keistimewaan DIY.
Belanja tertentu meliputi belanja pegawai, belanja bunga, belanja hibah untuk daerah otonomi baru, dan belanja bagi hasil.
Merujuk pada data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dapat ditemukan bahwa pendapatan provinsi dari 2017 menuju 2018 meningkat yakni dari Rp319 triliun menuju Rp331,4 triliun.
Namun, perlu dicatat bahwa rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan secara rata-rata masih mencapai 57,9% dengan provinsi-provinsi seperti Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat mencatatkan rasio dana perimbangan di atas 80% dari keseluruhan pendapatan.
Belanja pegawai, salah satu belanja yang tercatat sebagai pengurang dalam penentuan KFD, juga tercatat masih dominan dengan rasio belanja pegawai terhadap total belanja secara rata-rata mencapai 26,8% pada 2018.
Provinsi-provinsi seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo tercatat memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja secara keseluruhan di atas 35%.
Ketiga daerah tersebut tercatat memiliki kategori KFD sangat rendah pada 2019 ini.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng mengatakan tren stagnansi KFD sudah berjalan sejak 2015.
Robert mengatakan bahwa secara keseluruhan provinsi serta kabupaten/kota di wilayah Timur selalu memiliki KFD yang lebih rendah dibandingkan dengan di Pulau Jawa.
Bahkan, ada beberapa daerah kabupaten/kota yang sangat bergantung dengan dana perimbangan sehingga rasio PAD terhadap pendapatan daerah hanya 3%-5%.
Data DJPK atas APBD 2018 pun menujukkan bahwa Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Maybrat memiliki PAD sebesar 0,2% dari pendapatan daerahnya.
Lebih lanjut, dari realitas di lapangan juga ditemukan bahwa dana perimbangan yang dalam hal ini Dana Alokasi Umum (DAU) cenderung dihabiskan untuk belanja pegawai. Padahal, DAU disalurkan dengan mempertimbangkan alokasi dasar serta celah fiskal dari daerah penerima.
Alokasi dasar pada hakikatnya memang digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan celah fiskal digunakan untuk menutup selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.
"Celah fiskal itu meski rumusnya di pemerintah pusat begitu, ketika di daerah tidak berguna semua," ujar Robert, Minggu (8/9/2019).