Bisnis.com, BOGOR — Penerapan skema pasar karbon dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen di bawah tingkat business as usual (BAU) dinilai bisa diterapkan terlebih dahulu di pasar domestik.
Peneliti Senior Biro Kerjasama Luar Negeri (KLN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Zahrul Muttaqin mengatakan Indonesia harus terlebih dahulu memenuhi komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen di bawah tingkat BAU pada 2030 sebelum memasuki pasar karbon global.
“Indonesia ketika mau mengembangkan pasar karbon ya boleh-boleh saja, tapi kita harus memperhatikan capaian kita untuk domestik ini dulu,” ujarnya kepada Bisnis di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Rabu (28/8/2019).
Zahrul menuturkan tak perlu menunggu 2030 apabila pada 2025 Indonesia mampu menurunkan 30 persen emisi GRK, sisa 1 persen bisa dijual ke pasar karbon global.
Pasar atau perdagangan karbon merupakan istilah untuk aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara dengan potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon secara alami. Apabila belum yakin bisa mencapai penurunan emisi GRK tersebut, menurut Zahrul, ada baiknya pemerintah membuat pasar karbon domestik.
Artinya, perusahaan atau pabrik yang mengeluarkan emisi yang membeli kredit karbon. “Misalnya ada petani hutan rakyat menanam pohon itukan menyerap CO2, sementara ada perusahaan pabrik mengeluarkan CO2, pabrik itu bisa membeli kredit karbon dari petani,” jelasnya.
Selain itu, Zahrul berharap agar Indonesia tidak terjebak pemahaman yang salah dari negara-negara maju terhadap pasar karbon dengan menganggap negara maju bisa berkontribusi terhadap penurunan suhu bumi global hanya dengan membeli karbon dari negara lain.
“Kalau itu yang terjadi, berarti kan malah mengurangi komitmen. Nah ,target global yang [penurunan suhu bumi] 2 derajat celsius enggak bisa tercapai,” tegasnya.