Penetapan empat pegawai pajak dan seorang komisaris di PT Wahana Auto Ekamarga (WHE), menambah daftar panjang perselingkuhan antara petugas pajak dan pengusaha terkait dengan restitusi.
Skandal tersebut juga menegaskan hipotesis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa restitusi sebagai salah satu titik rawan korupsi di sektor perpajakan.
Sejak lama, proses pencairan restitusi memang menjadi sorotan. Tak hanya masalah administrasi. Bukan pula soal lama atau tidaknya pencairan restitusi. Pencairan restitusi justru kerap berujung suap antara petugas pajak dan pengusaha.
Ada banyak kasus yang mencuat mulai dari PT WHE, skandal suap eks Ditgakum Ditjen Pajak Handang Soekarno, hingga kasus pemerasan terhadap PT EDMI yang juga terkait pencairan restitusi. Menariknya ketiga korporasi tersebut merupakan investor asing alias penanaman modal asing (PMA).
Khusus kasus PT WHE, sebelum diungkap KPK, pihak Kementerian Keuangan sebenarnya telah melakukan 'penindakan' terhadap empat orang pegawainya. Dua orang sudah dikenakan hukum disiplin, sedangkan yang dua lainnya dibebastugaskan dan menunggu proses untuk mendapatkan sanksi.
Namun, karena ada dugaan pidana korupsi berupa penyuapan dalam perkara empat pegawai pajak itu, lembaga antikorupsi kemudian turun tangan dan menetapkan empat pegawai pajak dan seorang komisaris PT WHE sebagai tersangka kasus pajak.
"Alih-alih perusahaan membayar pajak ke negara, justru negara yang harus membayar klaim kelebihan bayar pada perusahaan," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menggambarkan betapa mirisnya praktik rasuah itu, belum lama ini.
Terlepas bagaimana kasus ini berjalan nantinya. Bisa dibilang, upaya akal-akalan pajak PT WHE ini agak mirip dengan perkara penyuapan terhadap Handang Soekarno, eks Kasubdit Bukper Ditgakum Ditjen Pajak. Handang ditangkap KPK seusuai menerima 'angpao' dari Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Modusnya sama yakni dengan membantu permasalahan pajak korporasi. Di pengadilan, saat Handang disidang, dia tak hanya mengurus tax amnesty yang ditolak, dia juga mengurus pengajuan restitusi hingga bukper yang sebenarnya tengah dilakukan di KPP PMA Enam Kalibata.
Bedanya dengan skandal PT WHE, dalam dokumen dakwaan KPK, kasus ini menyeret sejumlah pejabat di otoritas pajak dan orang penting. Mulai dari eks Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, M. Haniv yang waktu itu menjabat Kakanwil DJP Jakarta Khusus, hingga ipar Presiden Joko Widodo, Arif Budi Sulistyo. Bahkan ketiganya dikabarkan pernah bertemu.
M. Haniv, saat dihubungi Bisnis.com pada Februari 2017, pernah mengungkap adanya pertemuan antara ketiga tokoh tersebut. Pertemuan itu diinisiasi sendiri oleh Arif dan dia hanya membantu untuk menghubungkan dengan pejabat pusat.
"Kalau soal apa yang dibicarakan saya tidak mau mengomentarinya. Karena saya hanya penghubung, tidak ikut pertemuan," ungkapnya.
Selain kasus Handang, perkara restitusi lainnya, yang sempat menjerat petugas pajak yakni pemerasan pajak PT EDMI salah satu penanaman modal asing (PMA) yang diungkap pada 2016.
Bedanya dengan dua kasus di atas, posisi PT EDMI dalam perkara ini adalah korban pemerasan yang dilakukan oleh tiga pegawai pajak di KPP Kebayoran Baru Tiga. Ketiganya kini telah divonis karena memeras atau meminta uang lelah, setelah mengurus restitusi milik PT EDMI.
Penegakan Hukum
Pertengahan 2017, ratusan perusahaan berontak. Mereka mengadu ke pemerintah, karena tak terima menjadi obyek pemeriksaan bukti permulaan (bukper). Apalagi, mereka telah patuh bahkan sebagian mengikuti pengampunan pajak atau tax amnesty.
Namun rengekan para pengusaha ini tentu berbeda dengan versi Ditjen Pajak, wabil khusus Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak. Melalui eks Ditgakum, Dadang Suwarna pada November 2017, terungkap bahwa ratusan perusahaan ini sengaja membuat faktur fiktif untuk mengakali restitusi.
eks Ditgakum Ditjen Pajak Dadang Suwarna
Dadang merasa praktik itu merugikan negara. Ada puluhan triliun dana yang mengalir sia-sia karena praktik kejahatan pajak tersebut. Apalagi persentase kebocoran kas negara dari praktik pengajuan restitusi dengan modus menggunakan faktur bodong cukup signifikan.
Pada 2016 misalnya, dari Rp101 triliun duit restitusi, hampir 20%-30% di antaranya diduga diajukan dengan menggunakan faktur bodong. Atas dasar inilah bukper kemudian dilakukan kepada ratusan perusahaan pengguna faktur bodong.
Belum sempat kasus ini klimaks, Dadang sendiri akhirnya harus merelakan jabatannya sebagai Dirgakum Dirjen Pajak. Versinya, dia hengkang karena ada banyak tekanan dari pihak internal yang memintanya untuk membatalkan bukper yang kadung ditebar sebelumnya.
Berbagai skandal suap yang melibatkan pejabat pajak maupun pengusaha, bukannya tak mendapat respons pemerintah. Baik Kementerian Keuangan maupun Ditjen Pajak telah mengubah mekanisme pencairan restutusi misalnya melalaui PMK No.39/PMK.03/2018.
Selain itu, skema pemeriksaan juga diarahkan lebih fokus kepada WP berisiko tinggi. Setidaknya hal inilah yang tertuang dalam sejumlah arahan dan statemen pemerintah dalam beberapa kesempatan.
Kendati demikian, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan tak banyak komentar saat ditanyai rentetan kasus suap tersebut. Hanya saja, terkait PT WHE, kasus ini sebenarnya sudah ditangani Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu dan sebagaian besar telah dikenakan sanksi.
"Sudah yang dua kan udah disanksi," ungkap Robert, belum lama ini.
Sebuah Terobosan
Dengan berbagai tantangan, termasuk petugas pajak yang selama setiap tahun harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena skandal rasuah, otoritas pajak mau tak mau harus terus berbenah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebutkan kunci untuk menekan praktik koruptif di Ditjen Pajak adalah kepastian hukum dan prosedur (SOP).
"Sepanjang masih ada ruang ketidakpastian, akan menimbulkan ruang interpretasi yang lebar. Kalau semua jelas seharusnya fraud bisa dieliminir," ungkapnya.
Prastowo menyebutkan bahwa saat ini sudah ada perbaikan di sisi perencanaan, siapa yang harus diperiksa. Selain itu, pemerintah juga baru meluncurkan desktop pemeriksaan yang akan membantu administrasi pemeriksaan supaya lebih efektif dan efisien.
Idealnya, compliance risk management atau CRM akan membantu perencanaan pemeriksaan. Selain itu, perlu sistem pengawasan yang lebih bagus dan ketat misalnya soal penunjukan tim, penyusunan tim, peer review, pengawasan pelaksanaan tahapan pemeriksaan.
"Di akhir penguatan quality assurance, pengawasan standar mutu hasil pemeriksaan. Skema reward and punishment ke pemeriksa juga diperlukan ke depan," ujarnya.
Kendati demikian, pengetatan mekanisme pemeriksaan bukan berarti memperumit atau menghalangi pencairan restitusi. Bagaimanapun, restitusi adalah hak wajib pajak. Makin cepat diberikan, makin cepat pula WP memperoleh haknya.