Bisnis.com, JAKARTA -- Pencacatan Neraca Pembayaran Indonesia kuartal II/2019 yang masih defisit US$2 miliar bisa diatasi lewat penguatan sektor jasa yakni pariwisata.
Josua Pardede, ekonom Bank Permata, menyatakan bahwa dalam kondisi yang kurang mengutungkan ini segala upaya dari sisi fiskal dan moneter sudah diupayakan oleh pemerintah. Khususnya kebijakan pemerintah mengerem impor. Namun salah satu langkah kebijakan yang cukup potensial adalah memperkuat pariwisata untuk menambah cadangan devisa.
"Kalau menggenjot ekspor di tengah memanasnya tensi perang dagang ini memang cukup berat. Apalagi ditambah daya saing produk ekspor kita ini masih kalah di pasar internasional," kata Josua, Jumat (9/8/2019).
Kelemahan Indonesia dalam perdagangan adalah karena produk ekspor sebagian besar adalah komoditas mentah seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara.
"Tentunya yang bisa dilakukan bagaimana mengerem impor nonproduktif ya. Impor barang konsumsi ini harus ditekan khususnya impor migas," terangnya.
Josua menyebut, pemberlakuan B20 sangat signifikan pada sisi volume impor migas. Maka itu perlu dilakukan upaya bagaimana membangkitkan sektor pariwisata.
"Karena ini terkait juga dengan maskapai penerbangan yang menaikkan tarifnya. Itu agak sedikit terganggu," paparnya.
Dia berharap ada sinkronisasi antara kementerian lembaga dan pemerintahan untuk mendorong sektor pariwisata. Selain itu juga pentingnya kebijakan yang lebih struktural mendorong produk manufaktur yang nilai tambahnya lebih besar.
Dalam catatan Bisnis.com, neraca perdagangan jasa pada kuartal II/2019 defisit US$2 miliar. Ini lebih tinggi dari defisit kuartal sebelumnya yakni US$1,9 miliar. Peningkatan defisit neraca jasa karena menurunnya surplus jasa perjalanan.
Khusus untuk penerimaan jasa perjalanan dari wisman tercatat US$3,0 miliar lebih rendah dari US$3,4 miliar pada kuartal I/2019. Tren penurunan penerimaan ini sejalan dengan pola pengeluaran wisman yang semakin rendah.