Bisnis.com, JAKARTA--PT Pertamina (Persero) memperkirakan diperlukan waktu selama 10 minggu sejak pernyataan kondisi keadaan darurat pada 15 Juli 2019 untuk mematikan sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ).
Apabila sumur tersebut berhasil dimatikan pada akhir September 2019, tumpahan minyak akan lebih mudah ditangani.
Adapun sumur YYA-1 diproyeksikan dapat memproduksi minyak sebanyak 3.000 barel per hari (bph) dan juga menghasilkan gas 23 juta kaki kubik per hari (MMscfd ).
Direktur Hulu Pertamina Dharmawan Samsu mengatakan pihaknya akan mengebor relief well di dekat sumur YYA-1 menggunakan rig Suhana. Rig tersebut akan melakukan pengeboran secara horizontal hingga melintasi sumur YYA-1 supaya semen bisa diinjeksikan.
Rig Suhana diperkirakan sampai di lokasi pada Sabtu (27/7/2019) atau satu hari lebih cepat dari target.
Menurutnya, sumur YYA-1 tidak akan digunakan kembali setelah ditutup permanen. Apabila PHE ingin mengembangkan kembali lapangan tersebut, akan dibuatkan sumur baru.
Baca Juga
"Rig Suhana akan sampai satu hari lebih cepat. Artinya, semua bisa kita percepat secara simultan," katanya di Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Pertamina juga mendatangkan tim Boot and Coots, perusahaan asal Houston, Amerika Serikat, yang memiliki pengalaman dalam menyelesaikan kejadian tumpahan minyak di Teluk Mexico (Deepwater Horizon).
Gelembung gas pertama kali muncul pada 12 Juli 2019 pukul 01.30 WIB saat sedang dilakukan re-entry di sumur YYA-1 pada kegiatan re-perforasi.
Pada 15 Juli 2019, PHE menyatakan keadaan darurat dengan bersurat ke SKK Migas dan ESDM. Tumpahan minyak kemudian mulai terlihat di sekitar anjungan pada 17 Juli 2018.
Pada 18 Juli 2019, tumpahan minyak mulai mencapai pantai ke arah barat atau berjarak 2 kilometer dengan garis pantai Karawang.