Bisnis.com, JAKARTA — Kabar biodiesel Indonesia bakal segera diganjar bea masuk antisubsidi oleh Uni Eropa menambah deretan sentimen negatif kinerja ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya pada tahun ini.
Sebagaimana diberitakan Bisnis.com sebelumnya, biodiesel asal Indonesia diganjar bea masuk sebesar 8%—18% oleh Uni Eropa (UE). Kebijakan itu akan berlaku secara provisional (sementara) per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.
Adapun, bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8%, Wilmar Group 15,7%, Musim Mas Group 16,3%, dan Permata Group sebesar 18%. Sementara itu, impor biodiesel dari perusahaan lain asal Indonesia dikenai tarif impor sebesar 18%.
Menurut catatan Bisnis.com, sepanjang tahun ini, ekspor CPO dan produk turunannya mengalami tren pelemahan akibat terus dibayangi oleh restriksi dagang oleh sejumlah negara tujuan ekspor utama.
Dalam pernyataannya belum lama ini, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawait (Gapki) Mukti Sardjono menjelaskan, restriksi terparah dilakukan oleh UE dan India. Akibatnya, kinerja ekspor CPO dan produk turunannya terus tertatih-tatih sepanjang Januari—Mei 2019.
Di Benua Biru, akses CPO dan produk turunannya makin menyempit setelah diterbitkannya dokumen Delegated Act Renewable Energy Directive (RED) II pada tahun ini. Kendati belum resmi diberlakukan, Mukti menilai kebijakan itu telah menciptakan sentimen negatif CPO di blok bermata uang tunggal itu.
Baca Juga
Hal itu tercermin dari kinerja ekspor CPO dan produk turunannya ke Eropa yang yang hanya mencapai 315.240 ton pada April 2019, turun 37% dari bulan sebelumnya. Tren negatif itu berlanjut pada Mei, di mana volume ekspor kembali melorot 4% secara bulanan menjadi 302.160 ton.
Demi mengatrol kinerja ekspor komoditas andalan Indonesia itu, pemerintah dan para pelaku industri sawit akan menghadapi UE di World Trade Organization (WTO) serta menggencarkan kampanye positif CPO guna mengerem tren perlambatan permintaan produk CPO dari Eropa.
“Beberapa negara tujuan ekspor utama [CPO dan produk turunannya] memberlakukan regulasi yang sudah masuk dalam kategori hambatan dagang. Contoh India, yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum,” ujar Mukti.
Menurut catatn Gapki, ekspor minyak kelapa sawit secara total pada April mengalami penurunan 18% menjadi 2,44 juta ton dari bulan sebelumnya. Sementara itu, pada Mei, ekspor komoditas itu mulai naik kembali sebesar 14% menjadi 2,79 juta ton. Namun demikian, kenaikan volume ekspor pada Mei tersebut masih di bawah ekspektasi para pelaku usaha.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor sebelumnya mengatakan, upaya paling realistis yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menghadpi hambatan dagang negara mitra adalah peningkatan konsumsi dalam negeri.
Menurutnya, apabila program uji coba B30 selesai dilakukan pada Oktober 2019, dan PT PLN (Persero) segera merealiasikan penggunaan minyak sawit untuk pembangkit listrik, maka kelebihan stok di dalam negeri akan berkurang. Hal itu akan membuat harga CPO di pasar global akan terkerek.
Dia mengestimasikan, serapan CPO dari program B30 akan mencapai 9 juta ton dan pengunaan minyak sawit untuk campura bahan bakar pembangkit listri PLN mencapai 3 juta ton per tahun. Volume itu akan meningkatkan serapan pasar domestik dan mengurangi dampak tingginya stok dalam negeri.
Adapun, berdaasarkan data Gapki, penyerapan biodiesel di dalam negeri sepanjang April 2019 hanya mampu mencapai 516.000 ton atau turun 2% dibandingkan dengan Maret 2019. Sementara itu, pada Mei serapan menunjukkan pertumbuhan dengan mencapai 557.000 ton atau terkerek 8% dari April.
Dari sisi pemerintah, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih menjanjikan pemerintah tidak tinggal diam untuk mengurai persoalan hambatan dagang yang melanda CPO Indonesia. Terlebih, menurutnya, komoditas tersebut merupakan andalan ekspor Indonesia. Guna melawan penerapan Delegated Act RED II oleh Uni Eropa, sebutnya, pemerintah telah melakukan persiapan pelaporan ke WTO dengan mengumpulkan sejumlah dokumen pendukung.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga aktif memasukkan CPO sebagai komoditas yang dilonggarkan impornya di sejumlah pakta perdagangan yang melibatkan negara Uni Eropa, seperti Indonesia-EFTA CEPA, Indonesia-Uni Eropa CEPA dan perjanjian dagang Indonesia-Eurasia.