Tidak terbantahkan, pajak adalah tulang punggung negara Indonesia. Tidak hanya karena menyumbangkan sekitar 75% dari APBN, pajak juga dapat menjamin proses state building yang mencakup pembaharuan kontrak fiskal, pembenahan governance, dan sekaligus memperkuat negara (Brautigam, 2008).
Arah kebijakan pajak nasional hakikatnya akan sangat bergantung dari figur pemimpin nasional. Mengutip Peters (1991), dari sekian banyak faktor, pada akhirnya pertimbangan politiklah yang akan menentukan pilihan kebijakan pajak suatu negara.
Menengok kembali 2014-2019, tidak bisa dipungkiri bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan pemimpin yang memiliki perhatian besar bagi sektor pajak. Lihat saja program amnesti pajak, akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, berbagai insentif pajak, serta agenda reformasi perpajakan 2017-2020. Berbagai kebijakan tersebut secara tidak langsung mengubah wajah pajak Indonesia saat ini. Lantas, bagaimana arah ke depan?
DAYA SAING
Kebijakan pajak Indonesia selama 5 tahun mendatang setidaknya bisa diteropong melalui pidato Presiden Jokowi mengenai Visi Indonesia 14 Juli 2019. Dalam pidatonya, terdapat 5 gagasan utama yang hendak dicapai, yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, mendorong investasi, reformasi birokrasi, serta APBN yang lebih tepat guna.
Lantas, bagaimana gagasan tersebut ditranslasikan dalam kebijakan pajak? Dari poin mengenai investasi serta reformasi birokrasi, kita dibawa pada upaya mendorong daya saing Indonesia. Hal yang masuk akal mengingat tantangan bonus demografi, strategi keluar dari middle-income trap, serta menggenjot pertumbuhan di tengah tekanan ekonomi global.
Upaya mendorong daya saing melalui instrumen pajak telah menjadi agenda reformasi pajak di berbagai negara selama 5 tahun terakhir (OECD, 2018). Lihat saja tren penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang secara rata-rata global turun sebesar 7,6% selama 2 dekade terakhir.
Relaksasi pajak juga makin gencar dilakukan. Lebih dari 50% negara di dunia mengobral insentif pajak, mulai dari tax holiday, insentif kawasan ekonomi khusus, hingga super deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (Cotrut dan Munyandi, 2018). Target utamanya mengundang investasi.
Tampaknya insentif pajak tetap jadi andalan pada periode kedua Presiden Jokowi untuk merespons situasi perekonomian. Penurunan tarif PPh badan sepertinya tinggal menunggu waktu. Kedua instrumen yang pro terhadap iklim investasi tersebut dipercaya akan meningkatkan basis ekonomi dan kemampuan membayar pajak lebih baik. Kepatuhan pajak juga diharapkan meningkat seiring dengan membaiknya kualitas hubungan antara wajib pajak dan pemerintah (Gale dan Samwick, 2014; OECD, 2020).
Walau demikian, strategi relaksasi tersebut berpotensi memberikan dampak risiko fiskal pada jangka pendek. Sebagai informasi, berbagai keringanan pajak (tax expenditure) pada 2017 saja telah mencapai 1,14% dari PDB (Kementerian Keuangan, 2018).
Makin gencarnya insentif pajak jelas meningkatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (revenue forgone). Oleh sebab itu, pemerintah perlu secara rutin mengevaluasi efektivitas pemberian insentif yang sekaligus bisa mengurangi kesenjangan kebijakan (policy gap).
MOBILISASI PENERIMAAN
Di sisi lain, visi Presiden Jokowi terutama atas pembangunan infrastruktur dan SDM mengharuskan ketersediaan dana pembangunan yang tidak sedikit. Kontribusi dari sektor pajak diprediksi makin diharapkan.
Tax ratio yang masih rendah adalah tantangan yang harus diselesaikan. Sebagai negara berkembang, besarnya porsi shadow economy sebagai sektor yang sulit dipajaki dan penegakan hukum pajak yang belum optimal, masih jadi kendala (Bahl, 2014).
Oleh karena itu, kunci keberhasilan dari meningkatkan tax ratio terletak pada upaya memperoleh informasi sebagai alat untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak. Informasi yang diperoleh baik dari kerja sama automatic exchange of information maupun pihak ketiga harus segera dieksekusi.
Sasaran utamanya berfokus terhadap wajib pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha yang kinerjanya masih lemah. Selain itu, upaya mencegah penggerusan basis pajak serta pembenahan sisi administrasi juga jadi pekerjaan rumah yang tidak kalah penting (IMF, 2018).
Hal mendesak yang perlu dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah melakukan dorongan politik untuk merampungkan agenda reformasi perpajakan yang mencakup pembenahan organisasi, SDM, proses bisnis, teknologi informasi, dan revisi UU. Kita bisa memahami agenda tersebut belum sepenuhnya berjalan pada periode pertama kepemimpinan Jokowi karena pemungutan pajak sangat dipengaruhi oleh relative bargaining power (Levi, 1988).
Sebagai penutup, peran sentral Presiden Jokowi jelas diharapkan dalam agenda reformasi pajak yang seyogyanya bisa menjembatani antara upaya untuk mendorong daya saing dan memobilisasi penerimaan. Hal ini bisa dilakukan selama sistem pajak didesain secara berimbang, fokus pada proses, dan berorientasi terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan (Bird, 2013).*