Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha perhotelan mendesak pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% kepada akomodasi nonhotel yang dijadikan tempat menginap oleh para wisatawan.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan selama ini yang dikenakan pajak PPN sebesar 10% oleh pemerintah daerah/provinsi hanya sektor perhotelan saja.
Kebanyakan pemda mematok PPN hotel sebesar 10% sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasalnya, sektor perhotelan ini sebagai tempat akomodasi dan menginap para turis.
"Pajak PPN 10% yang dikenakan kepada hotel ini diberi nama pajak hotel sehingga hanya hotel yang dikenakan pajak," ujarnya kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.
Pajak ini hanya dikenakan kepada hotel saja, namun untuk akomodasi lain seperti rumah yang dijadikan homestay, lalu indekos dan apartemen yang dijadikan tempat menginap turis dalam jangka waktu pendek tak dikenakan pajak seperti hotel ini.
"Akomodasi lain juga sebagai tempat menginap turis. Lalu apa bedanya dengan hotel. Jadi mereka juga harus dikenakan pajak seperti hotel sebesar 10%," katanya.
Oleh karena itu, dia mendesak agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Pariwisata segera mengubah nama pajak hotel menjadi pajak akomodasi agar akomodasi nonhotel juga dikenakan besaran pajak yang sama.
"Kalau tidak diganti sangat tidak adil. Pajak ini membuat ruang gerak kami menjadi sempit. Di satu sisi, turis milih penginapan yang murah akomodasi nonhotel, mereka [pelaku usaha] tak dikenakan pajak, malah kami saja yang dikenakan pajak," ucapnya.
Pihaknya pun pernah mengusulkan dan mengajukan kepada pemerintah untuk mengganti nama pajak hotel ini menjadi pajak akomodasi.
"Kami masih menunggu agar pemerintah dapat segera mengganti pajak hotel menjadi akomodasi," tutur Maulana.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menuturkan selama ini tidak ada keadilan pengenaan pajak hotel ini karena hanya hotel saja, padahal akomodasi lain selain hotel tak dikenakan pajak.
"Banyak indekos dan apartemen yang dijadiin sebagai hotel tetapi enggak dikenakan pajak," ujarnya.
Dia berharap pemerintah berlaku adil untuk pengenaan pajak kepada para pelaku usaha akomodasi. Oleh karena itu, salah satu yang dilakukan dengan cara mengganti nama pajak hotel dengan akomodasi.
"Ini harus diganti nama pajak hotel menjadi akomodasi agar homestay, indekost dan apartemen juga dikenakan pajak seperti hotel sebesar 10%," katanya.
Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan Anggiat Sinaga juga mengeluhkan tingginya pajak hotel yang dikenakan di wilayah Sulawesi Selatan sebesar 10%.
Di Sulsel, keberadaan homestay maupun indekost eksklusif sangat banyak digunakan oleh turis. Tentu hal ini meresahkan para pelaku usaha hotel karena pajak akomodasi hanya dikenakan kepada hotel.
"Kami minta pemerintah mengganti nama pajak hotel jadi akomodasi sehingga akomodasi selain hotel juga dikenakan pajak. Hal ini perlu direalisasikan," ucapnya.
Selain itu, pemerintah juga diminta pendataan keberadaan jumlah akomodasi selain hotel agar tercatat dan terdata.
Sementara itu, Country Head OYO Indonesia Rishabh Gupta mengatakan pihaknya senantiasa mendorong para mitra pemilik hotel waralaba atau franchised maupun penyewa untuk patuh terhadap semua kebijakan pemerintah pusat dan daerah setempat dimana mereka beroperasi.
"Kami juga senantiasa mendorong agar para pemilik properti rekan OYO juga patuh dalam kebijakan pemerintah terkait juga pajak," tuturnya.
Vice President Commercial Airy Viko Gara menuturkan pihaknya mendorong agar patner pemilih akomodasi yang bekerja sama dengan Airy turut serta untuk membayar ketentuan pemerintah pembayaran pajak.
"Kami terus dorong agar mitra Airy mematuhi kebijakan pemerintah termasuk pembayaran pajak," ucapnya.