Bisnis.com, JAKARTA — Program misi dagang Indonesia ke Selandia Baru melalui pergelaran Pacific Exposition 2019 di Auckland diklaim berhasil membukukan potensi transaksi senilai US$70,03 juta.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan potensi transaksi tersebut diperoleh dari kegiatan business matching pada 12 Juli 2019 di Auckland, Selandia Baru.
“Transaksi potensial yang tercatat saat ini mencapai US$70,03 juta. Nilai ini dipastikan terus bertambah mengingat para pelaku usaha masih menindaklanjuti permintaan dari calon mitra yang telah dipertemukan dalam business matching," jelas Arlinda, Senin (15/7).
Adapun, produk Indonesia yang dilirik oleh para pelaku usaha Negeri Kiwi a.l. produk hospitality, ikan tuna segar beku, kopi, kopra, cengkih, pala, rumput laut, produk rotan, produk kerajinan tangan, ban mobil, bahan peledak, pencetakan alat transaksi pembayaran, serta produk industri meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE).
Arlinda menyebut terdapat 32 perusahaan Indonesia yang terlibat dalam misi dagang di Selandia Baru. Mereka saling berebut peluang ekspor di kawasan Pasifik Selatan.
Adapun, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), total perdagangan RI dan negara-negara Pasifik Selatan pada 2018 menembus US$10,67 miliar, naik 3,05% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$10,35 miliar.
Sepanjang Januari—Maret 2019, total perdagangan Indonesia dengan kawasan Pasifik Selatan mencapai US$2,04 miliar, dengan negara tujuan ekspor utama a.l. Australia, Selandia Baru, Timor Leste, Papua Nugini, dan Fiji.
Dari segi komoditas, ekspor utama RI ke Pasifik Selatan mencakup komponen elektronik, kelapa sawit, ban, dan tembakau. Sementara itu, impor dari kawasan tersebut mencakup batu bara bitumen, produk peternakan, gandum, konsentrat bijih besi, dan gula mentah.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono sebelumnya mengatakan, pemerintah perlu mendiversifikasi negara tujuan misi dagang ke mitra-mitra nontradisional, termasuk kawasan Pasifik Selatan.
Pasalnya, mitra-mitra dagang tradisional Indonesia saat ini tengah gencar melakukan aksi proteksionisme, sehingga mempersempit peluang Indonesia untuk memacu transaksi dagang secara signifikan.
“Kemendag harus memasukkan negara lain yang mempunyai daya beli yang kuat, dan sedang tidak menjalankan proteksionisme,” ujarnya.
Tidak hanya itu, dia menyarankan agar pemerintah membuat pemetaan komprehensif terkait dengan kebutuhan konsumen di negara tujuan misi dagang.
“Kalau komoditas yang ditawarkan itu-itu saja dan negaranya pun itu-itu saja, hasilnya tidak akan maksimal. [Komoditas yang] ditawarkan [saat misi dagang seharusnya] adalah komoditas yang dibutuhkan oleh negara mitra. Seperti halnya ketika ada negara yang datang ke Indonesia, produk yang mereka tawarkan adalah produk yang kita butuhkan dalam jangka panjang,” jelasnya.
Senada, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menilai misi dagang yang dilakukan pemerintah selama ini belum efektif mengatrol kinerja ekspor, lantaran kurangnya diversifikasi produk yang ditawarkan ke negara mitra.
“Misi dagang belum efektif, menurut saya. Masih ada sisa waktu yang cukup tahun ini. Perlu ada perubahan signifikan dalam pola berjualan kita di negara lain,” tegasnya.