Bisnis.com, JAKARTA -- Ikatan Nasional Konsultan Indonesia atau Inkindo meminta pemerintah daerah untuk mengacu pada ketentuan renumerasi atau billing rate dalam pengadaan jasa konsultansi di daerah. Penyesuaian ini diharapkan bisa mendukung pengembangan jasa konsultan di daerah.
Ketua Dewan Pengurus Nasional Inkindo Peter Frans mengatakan pemerintah daerah bisa mengacu Peraturan Menteri PUPR No. 07/PRT/M/2019. Beleid ini mengatur tentang tandar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia.
"Di daerah billing rate-nya lebih kecil dari Kementerian PUPR. Padahal di daerah harusnya mengacu pada aturan ini," jelasnya kepada Bisnis, pekan ini.
Peraturan tersebut ditujukan untuk pelaksanaan penyediaan jasa konstruksi dan konsultansi di lingkungan kementerian/lembaga negara yang pembiayaannya berasal dari dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Namun, menurut Frans, pembiayaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah juga perlu mengacu pada beleid yang sama.
Dalam pasar 3 ayat (4), Peraturan Menteri PUPR No. 07/PRT/M/2019 menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dokumen pengadaan jasa konstruksi melalui penyedia. Dia mengakui, penerapan renumerasi minimal di daerah lebih kecil karena ketidaktahuan dari pengguna jasa, yaitu pemerintah daerah.
Sebagaimana diketahui, Di Kementerian PUPUR, remunerasi minimal bagi tenaga konsultan konstruksi diatur dalam Keputusan Menteri PUPR No. 897/KPTS/M/2017. Remunerasi minimal dalam beleid ini ditetapkan Rp18 juta sampai dengan Rp77 juta sesuai dengan masa pengalaman, jenjang, dan strata kependidikan.
Baca Juga
Remunerasi tenaga konsultan konstruksi di DKI Jakarta menjadi acuan dengan indeks 1. Sementara itu, besaran remunerasi di luar DKI akan dikalikan dengan indeks standar remunerasi minimal per provinsi. Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat tercatat memiliki indeks di atas 1.
Di sisi lain, Inkindo juga mendorong penerbitan peraturan yang mengatur jasa konsultansi nonkonstruksi yang saat ini tidak memiliki payung hukum yang kuat. Sejauh ini, jasa konsultansi baru diatur untuk sektor konstruksi, tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi.
Frans mengungkapkan, regulasi yang mengatur jasa konsultansi nonkonstruksi bakal dibuat dalam bentuk peraturan presiden. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selaku pembina jasa konsultansi akan menjadi pihak yang mengusulkan penerbitan perpres.
"Perpres ini diperlukan karena [konsultansi] nonkonstruksi belum ada standarisasi, belum ada perlindungan, dan tidak menjamin kualitas [pekerjaan konsultansi]. Kita perlu standard," tuturnya.
Secara umum perpres jasa konsultasi nonkonstruksi antara lain akan mengatur kewajiban penggunaan tenaga konsultan bersertifikat dan renumerasi minimal atau billing rate. Dia mengimbuhkan, kewajiban penggunaan tenaga konsultan bersertifikat akan mendorong sertifikasi tenaga konsultan sehingga secara langsung meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang konsultansi.