Bisnis.com, JAKARTA - Eksportir China melakukan langkah ekstrem yakni dengan menyematkan label ‘Made in Vietnam’ terhadap produk yang dikirim ke Amerika Serikat. Langkah ini diambil untuk menghindari tarif impor yang tinggi.
Pemerintah Vietnam menemukan lusinan dokumen palsu terkait dengan asal produk (product-origin certificate). Pihak berwajib juga menemukan sejumlah kegiatan pengiriman ilegal dalam upaya menghindari tarif impor Amerika Serikat (AS) yang berlaku terhadap hampir seluruh produk China, mulai dari agrikultura hingga baja.
Kasus-kasus penipuan yang ditemukan oleh Pemerintah Vietnam termasuk pengemasan barang-barang China yang diubah menjadi ‘Made in Vietnam’ bahkan sebelum sertifikat asal produk diproses.
Ini merupakan pertama kalinya Vietnam secara terbuka membongkar perilaku curang dalam kegiatan perdagangan sejak ketegangan perang dagang memuncak tahun ini.
Pernyataan dari Vietnam, yang berjanji untuk meningkatkan hukuman atas penipuan terkait dengan perdagangan, menguatkan kekhawatiran bahwa beberapa eksportir China secara ilegal mengalihkan pengiriman pesanan ke AS melalui negara produsen lain.
Langkah ini marak terjadi setelah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif terhadap impor produk China senilai US$250 miliar dan mengancam akan memberlakukan tarif pada daftar produk tambahan senilai US$300 miliar.
Mitra dagang AS, termasuk Vietnam, saat ini menghadapi tekanan yang makin besar untuk menghentikan praktik ekspor ilegal, mengingat pada saat yang sama mereka juga berusaha untuk menghindari sanksi tarif serupa.
“Ini seperti permainan kucing dan tikus. Selama orang-orang rela mengambil risiko untuk menghindari bea [masuk] 25%, [praktik ekspor ilegal] akan sulit dihentikan,” kata Fred Burke, mitra pengelola di firma hukum Baker & McKenzie (Vietnam) Ltd., seperti dikutip melalui Bloomberg, Selasa (11/6).
Do Van Sinh, anggota tetap komite ekonomi Majelis Nasional mengatakan, Vietnam makin khawatir dengan kemungkinan pengenaan sanksi oleh AS karena mengizinkan produk China dengan label palsu. Apalagi, pengiriman ke AS telah melonjak tahun ini bersamaan dengan pelemahan ekonomi China.
Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa beberapa dari keuntungan ekspor Vietnam disebabkan oleh pergeseran rantai pasok.
Salah satu contoh kasus dari pemalsuan itu adalah produk kayu lapis asal China yang diekspor ke AS melalui perusahaan Vietnam.
“Jumlah industri rumahan yang berusaha menghindari tarif AS kemungkinan akan bertambah, mengingat tingkat tarif yang tinggi dan potensi keuntungan yang besar,” kata Chua Hak Bin, ekonom senior di Maybank Kim Eng Research Pte. di Singapura.
Merujuk pada kebijakan Asean, Chua mengatakan kemungkinan besar perhimpunan bangsa-bangsa tersebut akan menindaklanjuti perubahan rute rantai pasok agar tidak terjadi kecurangan dalam kegiatan dagang.
Sementara itu, seorang analis senior Bloomberg Intelligence di Singapura, Rahul Kapoor, mengatakan bahwa pengiriman ekspor yang meragukan kemungkinan merupakan bagian kecil dari total ekspor China ke AS.
“Akan selalu ada kebocoran dan strategi untuk menghindari tarif, tetapi kami tidak melihatnya sebagai fenomena yang tersebar luas,” kata Kapoor.
Vietnam saat ini juga sedang menghadapi pengawasan dari Washington setelah Departemen Keuangan AS menambahkan negara itu ke daftar pantauan untuk dugaan praktik manipulasi mata uang bulan lalu.
Adapun, pihak berwenang Vietnam mengatakan nilai tukar tidak akan digunakan untuk menciptakan keuntungan perdagangan yang tidak adil, bahkan ketika mereka semakin khawatir bahwa konflik AS-China akan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Wakil Perdana Menteri Vietnam Pham Binh Minh mengatakan kepada Majelis Nasional bahwa produk domestik bruto (PDB) berpotensi turun 6 triliun dong atau sekitar US$256 juta dalam 5 tahun ke depan akibat perang dagang.