Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah perusahaan tambang batu bara melakukan diversifikasi usaha ke sektor pembangkit listrik. Selain meningkatkan nilai tambah pertambangan, upaya diversifikasi itu juga untuk menggali sumber pendapatan selain dari penjualan produk pertambangan.
Dalam satu dekade terakhir, harga batu bara berfluktuatif. Terutama sejak 2014, harga batu bara terus terpuruk. Harga batu bara mulai kembali membaik pada 2017.
Berdasarkan data dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2018, Indonesia memiliki 37 miliar ton batu bara dengan cadangan terbuktinya sebanyak 20,11 miliar ton dan cadangan terkira 17,02 miliar ton. Jumlah cadangan tersebut naik 12 miliar ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Meskipun begitu, jumlah cadangan tersebut masih sekitar 2% saja dari total cadangan dunia. Padahal, Indonesia saat ini masih menjadi eksportir terbesar batu bara termal dunia.
Apabila dibagi rata-rata produksi per tahun sebanyak 485 juta ton, dengan asumsi tidak ada tambahan cadangan lagi, umur batu bara Indonesia hanya tinggal 76 tahun lagi. Namun, penghitungan tersebut tidak memperhitungkan keekonomian cadangan batu bara.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa jangka waktu pemanfaatan batu bara tersebut akhirnya sangat sulit untuk dihitung. Setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi.
Baca Juga
Pertama, kualitas batu bara yang bisa ditambang. Menurutnya, beberapa jenis batu bara bisa saja tidak memiliki pasar sehingga cadangannya tidak ekonomis untuk ditambang. Kedua, lokasi tambang. Ketiga, kedalaman tambang.
“Akhirnya, yang jadi pertanyaan bukan berapa lama cadangan tersebut akan habis kalau ditambang semua, tetapi berapa lama perusahaan bisa bertahan? Bisa jadi ada yang hanya 5 tahun atau 10 tahun lagi,” ujarnya.
Dengan demikian, apakah bisnis batu bara masih prospektif?
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia optimistis bahwa batu bara masih prospektif dalam beberapa tahun ke depan. Menurutnya, tren pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih berjalan di beberapa negara, khususnya Asean.
Untuk pasar dalam negeri, batu bara memang masih menjadi pilihan utama sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2019—2028, dalam 10 tahun ke depan akan ada tambahan 56,4 gigawatt (GW) pembangkit listrik. Sebanyak 27.063 megawatt (MW) atau 48% menjadi jatah PLTU.
Dari tambahan kapasitas itu, akan ada peningkatan kebutuhan batu bara lebih dari 60 juta ton menjadi 153 juta ton pada 2028. Jumlah yang signifikan mengingat realisasi kebutuhan batu bara untuk pembangkit pada tahun lalu masih 91,1 juta ton.
SANGAT SERIUS
Beberapa grup atau perusahaan raksasa di bidang pertambangan batu bara pun sangat serius dalam bisnis kelistrikan tersebut. Beberapa di antaranya adalah Grup Adaro, Indika, Sinar Mas, Grup Barito, Medco Power hingga perusahaan yang kini tergabung dalam induk BUMN pertambangan, PT Bukit Asam Tbk.
PT Toba Bara Sejahtra Tbk., misalnya, yang saat ini mendorong diversifikasi bisnis pada pertambangan dan pembangkit dengan komposisi pendapatan berimbang pada 3 tahun ke depan. Saat ini, pendapatan perusahaan memang masih didominasi dari tambang batu bara.
Direktur PT Toba Bara Sejahtra Arthur Simatupang mengatakan bahwa perseroan memang berupaya agar tidak hanya bergantung pada bisnis tambang. Setidaknya apabila bisnis tambang batu bara mengalami masa suram, perseroan telah mampu menambah aset portofolio di bidang kelistrikan.
Arthur yang juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) mengatakan, untuk mendapatkan fixed income dari bisnis pembangkitan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pertambangan. Setidaknya bisnis pembangkitan harus menjalani proses bertahun-tahun untuk mendapatkan fixed income dimulai dari pengajuan perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) ke PLN, penyelesaian pendanaan atau financial close (FC), hingga konstruksi yang setidaknya memakan waktu 3 tahun.
Menurutnya, saat pembangkit telah beroperasi, setidaknya 5 tahun pertama perusahan belum mampu mendapatkan keuntungan karena dana masih digunakan untuk mengembalikan pinjaman pada pihak ketiga atau perbankan. Baru pada 5 tahun setelahnya, keuntungan mampu diperoleh perusahaan.
Direktur Keuangan PT Toba Bara Sejahtra Tbk. Pandu Sjahrir mengatakan, setelah mengakuisi 5% saham PLTU Paiton dengan kapasitas 2.045 MW, perseroan makin optimistis mengembangkan industri pembangkit. Selain menunggu dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sulbagut-1 dan Sulut-3 yang sedang konstruksi, perseoran pada tahun ini berencana mengembangkan usaha pada pembangkit listrik energi bersih.
PT Adaro Energy Tbk. juga berupaya meningkatkan kontribusi bisnis di luar batu bara untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan perseroan. Saat ini, kontribusi bisnis nonbatu bara berupa ketenagalistrikan, logistik, maupun jasa pertambangan mencapai sebesar 20%.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk. Garibaldi Thohir mengatakan, batu bara termal subbitumen dengan kalori rendah memang masih menjadi penopang utama bisnis perseroan. Hanya saja, batu bara kokas keras premium juga terus didorong untuk tumbuh agresif. Selain juga mendorong bisnis nonbatu bara, salah satunya pembangkitan.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan populasi penduduk menjadi peluang bagi Adaro untuk memutuskan merambah ke sektor hilir yakni pembangkitan. Diversifikasi ke usaha non batu bara menjadi strategi perusahaan tambang di tengah kondisi bisnis yang penuh dengan ketidakpastian global.