Bisnis.com, JAKARTA - Penangguhan pungutan ekspor terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sejumlah produk turunannya dinilai berdampak negatif terhadap industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, pada 4 Desember lalu Kementerian Keuangan menerbitkan beleid yang mengatur bea keluar atau tarif pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atas CPO.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152/PMK.05/2018, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM dan BPDP-KS diminta melakukan pemantauan atau evaluasi setiap bulan mengenai pungutan ekspor ini dengan mengacu pada fluktuasi harga CPO internasional.
Jika harga CPO internasional berada di bawah level US$570 per ton, pemerintah akan menolkan seluruh tarif ekspor kelapa sawit. Sementara itu, jika harga berada di kisaran US$570 sampai US$619 per ton, maka pungutan ekspor CPO menjadi US$25 per ton. Pungutan ekspor ini akan kembali normal di angka US$50 untuk setiap tonnya apabila harga internasional kembali normal di atas US$619.
Penangguhan ini disinyalir menjadi pendorong pelaku usaha untuk langsung mengekspor minyak sawit dalam bentuk mentah tanpa diolah terlebih dahulu.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Fadhil Hasan mengungkapkan salah satu negara tujuan ekspor CPO ini adalah Malaysia. Di Negara Jiran, impor minyak sawit mentah murah asal Indonesia diolah untuk kemudian diekspor dalam bentuk turunan dengan harga yang bersaing ke pasar potensial.
"Salah satu yang diuntungkan dengan kebijakan ini adalah Malaysia. Mereka bisa memperoleh CPO dengan harga murah dan mereka ekspor [setelah diolah] ke India, salah satu pasar yang besar," kata Fadhil di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Dalam konteks merebut pasar potensial di India, Fadhil menyatakan industri pengolahan minyak kelapa sawit di Indonesia akan kesulitan menyaingi Malaysia. Pasalnya, India menetapkan tarif impor untuk produk kelapa sawit asal Malaysia 5% lebih rendah dibanding asal Indonesia sejak Januari lalu.
New Delhi tercatat menetapkan pemangkasan tarif impor CPO dari 44% menjadi 40% untuk minyak sawit mentah dari Indonesia, Malaysia, dan negara Asia Tenggara lainnya. Namun untuk produk olahan, pemangkasan tarif impor dari Malaysia ditetapkan dari 54% menjadi 45% dan 50% untuk impor asal Indonesia.
"Kita tahu bahwa India menetapkan bea masuk produk sawit Indonesia lebih tinggi 5% dibandingkan Malaysia. Jadi mereka lebih memilih barang dari negara tetangga," ungkap Fadhil.
Penangguhan pungutan ekspor guna mengangkat harga CPO di tingkat petani disebut Fadhil juga membuat industri hilir kelapa sawit bergerak stagnan lantaran sumber pendanaan yang berkurang. Hal ini pun dikhawatirkan dapat mengancam bahan bakar berbasis minyak nabati.