Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pertumbuhan ekonomi 2020 dalam asumsi makro sebesar 5,3 persen-5,6 persen akan sulit terealisasi.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengungkapkan, salah satu faktornya adalah PDB yang masih bertumpu pada laju konsumsi di kisaran 4,9 persen-5,2 persen.
Sementara itu, momentum pendorong konsumsi semakin menipis seiring perekonomian global yang melambat akibat ketegangan perang dagang dan sejumlah aspek geopolitik.
"Ada potensi konsumsi melambat di 2020 seiring global yang lesu," kata Eko, Kamis (23/05/2019).
Selain itu, Indef melihat skenario pertumbuhan pada 2020 tersebut, asumsi laju impor ditargetkan hampir setara dengan laju ekspor.
Padahal, kata dia, laju impor tumbuh hampir dua kali lipat laju ekspor Indonesia pada 2018. "Ini jelas tidak mudah," kata Eko.
Baca Juga
Dari sisi target investasi (PMTB), Indef mencatat selama era Presiden Jokowi laju investasi PMTB belum mampu tumbuh hingga 7 persen.
"Sementara pada skenario pertumbuhan 2020 Pemerintah menghendaki PMTB mampu tumbuh 7 persen-7,4 persen, ini tugas berat bagi tim ekonomi nantinya," tegas Eko.
Pasalnya, pertumbuhan global melambat sementara investasi ditargetkan meningkat.
Di sisi sektoral, terutama terkait target laju sektor industri pengolahan di tahun depan sebesar 5 persen-5,5 persen juga akan menjadi tantangan.
Selama 2018, industri pengolahan tumbuh flat di 4,3 persen. Indef menilai bertahan pada angka tersebut akan cukup berat karena pertumbuhan kuartal I/2019 hanya 3,86 persen.
Poin berikutnya, kata Eko, adalah catatan atas asumsi nilai tukar pada 2020 yang senilai Rp14.000-15.000 per dolar AS. Asumsi ini cukup realistis. Artinya masih dalam range yang optimis dapat dicapai oleh BI.
Tantangan agar target kurs nilai tukar rupiah ini dapat tercapai terutama muncul dari neraca transaksi berjalan yang kecenderungan defisitnya melebar.
Di samping itu, Eko menuturkan aspek hot money yang trennya meningkat dalam perekonomian Indonesia juga perlu diwaspadai karena sangat sensitif terhadap isu geo politik dan keamanan.
Terakhir, Eko menegaskan harga minyak mentah Indonesia diasumsikan sebesar US$60 - 70 per barel. "Angka ini pun menurut saya cukup realistis," kata Eko.
Saat ini, harga minyak bergerak dalam kisaran tersebut. Perlambatan ekonomi global dapat menggambarkan asumsi harga ini, di mana secara fundamental jika ekonomi melambat umumnya harga bahan bakar cenderung landai.
Namun, dia mengingatkan aspek geopolitik negara-negara produsen minyak mentah tetap penting diperhatikan karena dinamika harga minyak tidak selalu berkaitan dengan permintaan dan pasokan.
"Sering kali, harganya lebih dipengaruhi faktor politik," ujarnya.