Bisnis.com, JAKARTA - Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) kerap menjadi aturan yang menakutkan bagi pelaku industri untuk melakukan ekspansi. Namun, sebagian pihak menilai limbah B3 dapat menjadi bahan baku atau campuran bahan baku yang memiliki nilai tambah.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Teddy Sianturi mengutarakan bahwa ada beberapa kategori limbah B3 yang dapat diturunkan menjadi kategori anorganik atau B2.
Teddy menilai fly dan bottom ash dari pembakaran batu bara dapat digunakan untuk bahan baku batako dan jalan.
Walau belum disetujui sebagai bahan campuran dalam pembuatan semen oleh KLHK, Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) telah memproduksi dan mengekspor semen slag baja atau ground granulated blast furnace slag (GGBFS) mulai tahun ini.
Seperti diberitakan Bisnis, GGBFS (ground-granulated blast-furnace slag) digunakan sebagai pengganti porsi bahan baku clinker dan OPC dalam pembuatan semen portland, slag cement, dan concrete (beton).
GBFS adalah limbah industri peleburan besi PT Krakatau Posco, yang mana komposisi kimianya sebagian besar mengandung oksida silikat. GBFS dapat digunakan sebagai pengganti terak, karena memiliki sifat kimia dan fisik yang mirip dengan terak.
Penggunaan GGBFS dapat mengurangi biaya produksi karena harga yang lebih murah dibandingkan OPC atau clinker.
Chairman Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim menyapaikan dalam tidak seluruh slag baja dicampurkan dalam pembuatan semen tersebut, melainkan hanya beberapa jenis slag dari proses produksi baja.
Asosiasi, imbuhnya, juga berusaha untuk mengeluarkan slag baja dari kategori limbah B3. Menurutnya, slag baja memiliki nilai tambah, berbeda dengan slag timah yang memang berbahaya.