Bisnis.com, JAKARTA —Australia berencana mengurangi jumlah ekspor sapi hidup dalam satu sesi pengapalan. Sebagai langkah antisipasi kenaikan harga, importir sapi hidup mencari negara lain sebagai pemasok alternatif.
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni P. Liano mengatakan, para importir sapi di Indonesia akan menghitung potensi kenaikan harga sapi per ekor yang diimpor dari Australia apabila kebijakan pengurangan ekspor itu resmi dijalankan oleh Negeri Kanguru.
Di sisi lain, para importir Indonesia akan bernegosiasi dengan para eksportir sapi bakalan dari Australia untuk menetapkan harga produk hewan hidup tersebut.
“Kalau misal hitung-hitungannya ada pembengkakan yang cukup tinggi di harga per ekornya, kami akan cari negara lain sebagai tujuan impor sapi bakalan kita. Ada negara produsen yang potensial seperti Meksiko, Brasil, dan Afrika Selatan,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (5/5).
Dia mengakui ongkos logistik apabila mengimpor sapi hidup dari Meksiko, Brasil dan Afrika Selatan (Afsel) memang lebih tinggi dibandingkan dengan mengimpor sapi hidup dari Australia. Namun, dia memperkirakan harga sapi bakalan per ekor di negara-negara tersebut lebih murah dibandingkan dengan di Australia.
Baca Juga
Dia mengatakan, importir sapi Indonesia terpaksa akan mengalihkan impornya apabila negara-negara seperti Meksiko, Brasil, dan Afsel tersebut bersedia menawarkan harga sapi bakalan yang lebih murah dibandingkan dengan Australia sehingga dapat mengompensasi tingginya ongkos kirim dari negara-negara tersebut.
“Kebijakan Australia ini nanti akan membuka persaingan yang lebih sehat dengan negara eksportir sapi lainnya. Tinggal bagaimana nanti, apakah eksportir Australia mau menurunkan harga sapinya demi mengompensasi ongkos kirim yang lebih mahal pascakebijakan pembatasan ekspornya,” jelasnya.
Di sisi lain, dia juga menyatakan, peralihan impor sapi dari Australia ke negara lain dapat terjadi apabila Partai Buruh Australia melaksanakan janji kampanyenya untuk menghentikan ekspor hewan hidupnya.
Selama ini, menurutnya, impor sapi bakalan dari Australia mencapai 90% dari total impor RI atas produk tersebut. Data Gapuspindo menyebutkan, pada tahun lalu, total impor sapi hidup setara daging sapi Indonesia mencapai 119.620 ton.
Joni melanjutkan, saat ini pemerintah telah mengeluarkan izin atas impor 500.000 ekor sapi bakalan yang berlaku selama 1 tahun. Sepanjang Januari—April 2019, realisasi impor mencapai 120.000 ekor.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, wacana kebijakan pembatasan ekspor sapi oleh Pemerintah Australia tersebut tidak akan berpengaruh terhadap proses pengadaan luar negeri sapi bakalan Indonesia.
Menurutnya, para importir Tanah Air sudah memiliki langkah mitigasi tersendiri guna menghadapi potensi kenaikan harga di negara asal impor.
“Tinggal nanti bagaimana secara business to business, para eksportir dari Australia dan importir kita menetapkan harga transaksinya. Kalau misal dirasa terlalu mahal, impor bisa beralih ke negara lain dengan catatan negara tersebut bebas dari penyakit mulut dan kuku [PMK],” jelasnya.
Adapun, dikutip dari laman ABC News, mulai 1 Juni 2019 Australia berencana mengurangi jumlah sapi hidup yang diizinkan diangkut dalam satu kapal dalam sekali pengiriman. Pengurangan jumlah sapi yang dikapalkan dalam satu kali pengangkutan merupakan usulan dari Badan Standardisasi Ekspor Ternak Australia (Australia Standards for the Export of Livestock /ASEL).
Rencana itu mendapatkan kritikan dari para eksportir di Australia. Ketua Dewan Pengekspor Ternak Australia Mark Harvey-Sutton, mengatakan para pelaku industri saat ini masih mencari tahu berapa tambahan biaya akibat rencana aturan tersebut.
“Perkiraan kami, sebuah kapal yang saat ini biasanya mengangkut 5.000 sapi jantan [dari Darwin ke Jakarta] nantinya akan mengangkut kurang dari 4.300 ekor,” katanya, Minggu (5/5).
Dia mengatakan, dengan asumsi berkurangnya kapasitas pengangkutan itu, ongkos pengiriman per ekor sapinya naik sekitar AUS$20.
Menurutnya, kenaikan biaya logistik itu akan dibebankan ke pembeli lantaran para produsen saat ini tertekan oleh margin penjualan yang sangat rendah.