Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan menghadapi kendala struktural yang lebih berat dalam memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.
Pasalnya Uni Eropa, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama, berencana mengurangi secara berkala, bahkan menghentikan, impor minyak sawit atau CPO (crude palm oil) dari Indonesia.
Rencana ini didasari atas hasil kajian Uni Eropa yang menyimpulkan produksi CPO merusak lingkungan. Menurut kajian itu, 45% dari perluasan lahan produksi sawit mengakibatkan kerusakan hutan, lahan gambut dan basah, serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara masif. Maka dari itu menghentikan impor CPO, menurut Uni Eropa, menjadi upaya penting menjaga kelestarian lingkungan.
Aksi ini berpotensi membuat Indonesia kehilangan pendapatan yang sangat besar. Sebagai gambarannya, nilai ekspor minyak sawit dan turunannya ke Benua Biru pada 2018 mencapai US$2,28 miliar, di mana sekitar 51% dikontribusikan oleh CPO (US$1,16 miliar). Nilai ini setara dengan 4% impor migas Indonesia.
Tentu saja ini akan memberi tekanan besar pada nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar berpotensi membuat defisit neraca transaksi berjalan menjadi makin besar mengingat tingginya kebutuhan barang impor dalam kegiatan produksi nasional. Ini artinya risiko perekonomian nasional cenderung meningkat.
Ditilik dari sejarahnya, kampanye negatif terhadap minyak sawit sudah berkali-kali terjadi. Pertama, pada 1980-an minyak sawit dituduh mengandung kolesterol tinggi, sehingga berbahaya bagi kesehatan.
Kedua, pada periode 1990-an minyak sawit kembali dituding sebagai penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah. Tuduhan ini dibantah oleh para ahli gizi dan kesehatan. Mereka membuktikan bahwa CPO kaya akan vitamin A dan E yang justru bisa mencegah kedua penyakit tersebut.
Ketiga, pada tahun 2000-an sampai sekarang, kampanye negatif sawit mengusung tuduhan baru, yaitu perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan dan menyebabkan pemanasan global.
Tuduhan ini sangat menggelikan karena sebenarnya yang menjadi kontributor utama perusak lingkungan justru negara-negara Barat sendiri, termasuk Uni Eropa.
Uni Eropa menjadi penyumbang pemanasan global terbesar ketiga di dunia dengan 4224 metric tons of carbon dioxide equivalent (MtCO2E) atau sekitar 10% dari emisi global. Fakta menunjukkan bahwa justru negara-negara majula, termasuk Uni Eropa, yang telah sangat lama menikmati pembangunan ekonominya dengan cara merusak dan mencemari lingkungan.
Wajar bila kemudian ada paradigma yang melihat isu lingkungan pada prakteknya hanya digunakan negara maju sebagai instrumen untuk mempertahankan hegemoni ekonomi mereka di tingkat global.
Dalam perdagangan internasional, negara-negara maju umumnya memperoleh nilai tambah yang lebih besar daripada negara-negara berkembang, karena keunggulan modal yang dimiliki.
Kondisi ini menciptakan pola hubungan yang berbentuk negara pusat dan negara pinggiran, di mana kelompok negara maju menjadi pusatnya. Adapun kelompok negara berkembang menjadi negara pinggirannya. Corak perdagangan internasional yang cenderung bersifat hegemonis, satu arah, dan eksplotatif ini coba dipertahankan, salah satunya, lewat isu lingkungan.
Kebijakan nontarif (non-tariff measures) terkait dengan isu lingkungan, apakah dalam bentuk sanitary and phytosanitary measures (SPS) atau technical barrier to trade (TBT), yang diterapkan negara maju sangat menyulitkan negara berkembang (eksportir) untuk dapat mengakses pasar negara maju.
Menariknya, Uni Eropa yang merupakan salah satu pencemar lingkungan terbesar di dunia menerapkan standar SPS dan TBT paling ketat di antara kelompok negara OECD (Disdier, 2008).
Sedari awal jelas bahwa alasan penolakan impor CPO oleh negara maju dengan proxy lingkungan adalah akal-akalan. Kampanye negatif minyak sawit yang muncul pada 1980-an diketahui dibiayai oleh Asosiasi Kedelai Amerika yang produknya tidak mampu bersaing dengan sawit yang memiliki tingkat produktivitas lebih baik.
Alhasil, harga jual kedelai kalah kompetitif. Serupa dengan kampanye negatif Uni Eropa terhadap sawit akhir-akhir ini. Meski dibumbui dengan kajian akademik tetapi penolakan impor CPO yang sesungguhnya adalah, karena kalah bersaingnya komoditas alternatif Benua Biru seperti sunflower dan rapeseed, dengan sawit. Oleh karena itu, bukan lingkungan, tetapi persaingan bisnis yang menjadi alasan penolakan.
Untuk itu, perlu upaya sistematis dan berkelanjutan guna mengatasi kampanye negatif sawit. Diseminasi fakta dan hasil penelitian tentang sawit, terutama di kanal-kanal internasional, perlu terus dilakukan. Flawed science yang dikedepankan oleh negara maju untuk menghadang minyak sawit perlu diluruskan dengan counterstudy yang juga serius.
Program Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga harus terus dikembangkan. Sejauh ini realisasinya masih sangat rendah, karena baru sekitar 20,4% dari luas perkebunan sawit yang memperoleh sertifikasi ISPO ini. Soal perizinan lahan dan birokrasi yang selama ini menghambat proses sertifikasi harus segera diatasi.
Skema insentif-disinsentif juga perlu dirumuskan guna memoderasi adaptasi ISPO. Pengadilan lingkungan hidup perlu lebih ditegakkan untuk menindak perusahaan kelapa sawit pencemar lingkungan. Tak bisa dipungkiri bahwa perluasan perkebunan sawit terkadang berdampak negatif bagi lingkungan, seperti hilangnya habitat satwa endemik atau pembakaran hutan.
Untuk itu, bagi setiap perusahaan sawit yang melanggar UU Lingkungan Hidup harus diberi tindakan hukum yang tegas lewat mekanisme pengadilan lingkungan hidup. Dengan demikian, kerusakan lingkungan akibat sawit tidak menjadi bahan politisasi demi mempertahankan status quo negara-negara maju.
Dalam jangka panjang upaya struktural lain yang perlu dilakukan adalah memperkuat basis penghiliran sawit. Harus diakui Indonesia terlambat membangun penghiliran ini. Komposisi ekspor CPO terhadap produk turunan CPO Indonesia masih tinggi, yakni berkisar 50:50. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 20:80.
Padahal jika CPO diolah menjadi produk oleokimia akan meningkatkan nilai tambah produk hingga 400%. Bahkan bisa lebih tinggi lagi bila dipakai untuk kebutuhan kosmetika.
Penghiliran biofuel dengan mengolah CPO untuk menghasilkan produk biodiesel, biogas, biopremium dan bioavtur harus terus diupayakan.
Mandatori biodiesel 20% (B20) oleh pemerintah misalnya, harus diupayakan karena mampu membangkitkan industri sawit nasional. Tak hanya itu, jika program ini berjalan, impor minyak bisa dikurangi. Dan ini memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang besar dalam bentuk stabilitas ekonomi dan penguatan neraca perdagangan Indonesia.
Namun upaya hilirisasi ini terkendala oleh inskonsistensi kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri, seperti pengapusan pajak ekspor CPO sebesar US$50 per ton. Kalaupun ingin menghapus pungutan ekspor, harusnya hanya berlaku untuk produk turunan CPO, apakah itu turunan pertama ataupun kedua.
Karena itu, sinkronisasi kebijakan dengan sasaran yang ingin dicapai menjadi prasyarat penting mewujudkan penghiliran sawit.
Memperjuangkan sawit berarti memperjuangkan nasib jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup dari komoditas ini. Lebih dari itu, semua upaya di atas perlu dilakukan tidak hanya untuk menjaga kepentingan ekonomi nasional tetapi juga demi kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (26/4/2019)