Bisnis.com, JAKARTA – Defisit transaksi berjalan yang berpotensi tertekan pada kuartal II/2019 dan pemburukan performa ekspor akibat penurunan ekonomi global menjadi sandungan bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan indikator kondisi global yang lebih ramah bagi prospek aliran modal masuk asing. Selain itu, BI melihat Fed Fund Rate (FFR) diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun dan tahun depan.
"FFR tidak jadi naik, tapi ekonomi global menurun sehingga kita perlu mendorong ekspor," ujar Perry, Kamis (25/04/2019).
Sementara itu, indikator pertumbuhan ekonomi cukup baik didorong oleh konsumsi dan investasi. Namun, BI memandang permintaan domestik masih perlu diperkuat agar PDB terus meningkat.
Dari indikator inflasi, BI menegaskan laju inflasi terkendali. BI meyakini inflasi 2019 akan berada di kisaran sasaran, yakni di bawah 3,5%.
Posisi rupiah yang bergerak pada kisaran Rp14.200-14.000 per dolar AS dinilai cukup stabil. Namun, Perry mengungkapkan nilainya masih undervalued.
Faktor lainnya seperti cadangan devisa dinilai cukup kuat. Aliran dana asing pada kuartal I/2019 mencapai US$5,5 miliar.
Di antara faktor tersebut, BI masih melihat risiko kenaikan defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua akibat faktor musiman didorong oleh pembayaran bunga dividen.
"Musiman pada kuartal II/2019, defisit transaksi berjalan memang bergerak naik, tapi kami pastikan akan di bawah 3%," ungkap Perry.
Di sisi lain, Perry menegaskan pihaknya akan memantau stabilitas eksternal pada bulan-bulan berikutnya untuk memastikan neraca pembayaran keseluruhan dapat surplus.
"Kami ingin pastikan pada kuartal II/2019, neraca pembayaran akan surplus," tegasnya.