Bisnis,com, JAKARTA -- Perdana Menteri Inggris Theresa May menyetujui tawaran Uni Eropa untuk menunda Brexit hingga 31 Oktober untuk menghindari risiko no-deal Brexit.
Alih-alih menghindari dampak negatif no-deal Brexit, perpanjangan waktu ini dikhawatirkan justru akan merugikan pelaku bisnis dan konsumer di tengah instabilitas ekonomi.
Inggris bisa saja mempercepat proses pengunduran diri dari Uni Eropa asalkan Parlemen meratifikasi sebuah kesepakatan Brexit yang ditawarkan PM May.
Meskipun penundaan ini dapt menghilangkan dampak negatif langsung bagi perusahaan, kebijakan ini juga akan memperpanjang ketidakpastian ekonomi.
Perusahaan di Inggris sudah menanggung beban dari gejolak pasar selama beberapa bulan terakhir dan investasi diperkirakan masih akan lemah atau akan menjadi lebih buruk hingga ekonomi dapat kembali pulih.
Direktur Jenderal Konfederasi Industri Inggris Carolyn Fairbairn mengutarakan dirinya telah bertemu dengan beberapa pelaku usaha yang merasa bahwa mereka telah mengeluarkan modal sia-sia untuk kebutuhan penimbunan pasokan barang dan sewa gudang.
Menurutnya perpanjangan waktu tidak akan meringankan beban para pelaku usaha.
"Ini adalah beban nyata bagi perekonomian. Krisis ekonomi yang diramalkan telah berhasil kita hindari tapi harus ada terobosan baru bagi ekonomi Inggris atau kondisinya akan lebih kacau pada musim gugur nanti," ujar Fairbairn, seperti dikutip melalui Bloomberg, Kamis (11/4).
Sentimen yang sama juga muncul di Jerman, di mana Asosiasi Eksportir dan Grosir mengatakan penundaan Brexit tidak begitu buruk karena berhasil menghindari ekonomi Eropa Barat dari kekacauan namun perusahaan masih harus menghadapi risiko ketidakpastian yang berkelanjutan.
Di Inggris, minat investasi sudah mencapai level terendah dalam delapan tahun terakhir.
Produsen kendaraan seperti Jaguar Land Rover, Honda, dan BMW bahkan sudah menjadwalkan penghentian produksi pabrik-pabrik mereka di Inggris sebelum 29 Maret, tenggat waktu Brexit yang disetujui pada awal kesepakatan dengan Uni Eropa tahun lalu.
Ekonomi Inggris tumbuh pada awal 219, namun diikuti dengan kegiatan penimbunan barang oleh para pelaku usaha yang mendorong inventaris mencapai rekor tertinggi.
Philip Shaw, seorang ekonom dari Investec mengatakan kegiatan penimbunan barang ini sifatnya sementara dan cenderung akan mempengaruhi perlambatan pertumbuhan.
"Dalam jangka pendek, perlambatan pertumbuhan tidak perlu menunggu perusahaan beramai-ramai mendistribusikan tumpukan barang mereka," kata Shaw.
Para konsumen yang memilih untuk berhemat sejak referendum pertama dilaksanakan pada 2016 kali ini mungkin tidak dapat diselamatkan.
Survei menunjukkan bahwa konsumen sudah mulai menunda belanja dalam nilai besar ditengah ketidakpastian ekonomi, meskipun mereka kini menikmati pertumbuhan upah yang lebih cepat. Hal ini akan menarik pertumbuhan ekonomi Inggris lebih rendah dari perkiraan.
Pekan ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris periode 2019 dari 1,5% menjadi 1,2% berdasarkan proses pemerintah dalam mencapai kesepakatan dengan parlemen.