Bisnis.com, JAKARTA – Krisis Boeing memasuki babak baru, terutama setelah China memboikot para maskapainya membeli jet dan suku cadang keluaran manufaktur pesawat asal Amerika Serikat (AS) itu beberapa waktu lalu.
Sebaliknya, kabar dari Indonesia seakan jadi angin segar buat produsen pesawat terbang asal Negeri Paman Sam tersebut.
Berdasarkan laporan Bloomberg, Jumat (18/4/2025) malam, boikot China telah menjadi kenyataan, seiring pengembalian pesawat Boeing 737 Max dari pusat perakitan akhir Boeing di Zhoushan, China, di mana sebelumnya merupakan pesanan Xiamen Airlines.
Menurut data dari FlightRadar24, pesawat itu sebelumnya terbang menuju Zhoushan dari Seattle, Washington, AS via Hawai dan Guam pada bulan lalu. Kini, pesawat itu diterbangkan kembali ke Guam.
Sementara itu, data Aviation Flights Group menyebut masih ada dua pesawat Boeing di Zhoushan yang berstatus dalam proses pengiriman ke pelanggan, tapi turut berpotensi dikembalikan akibat dampak perang dagang AS-China.
Menurut penyedia data penerbangan Cirium, sebelum Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif impor resiprokal, Boeing telah mengirimkan 13 pesawat 737 Max dan 3 pesawat 787 ke China selama 2025.
Lantas, masih ada 28 pesawat 737 Max dan satu pesawat 787 dijadwalkan untuk sisa tahun ini.
Namun, analisis dari RBC Capital Markets LLC yang dipimpin oleh Ken Herbert melihat bahwa gertakan Beijing bisa jadi hanya taktik negosiasi, mengingat pentingnya suku cadang Boeing untuk para maskapai pengguna eksisting di China.
"Pembatasan impor suku cadang pesawat baru dari China sulit dipertahankan dalam jangka waktu lama, karena diperlukan untuk mendukung armada yang ada," ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Sabtu (19/4/2025).
Terlebih, pabrikan pesawat pelat merah China, Commercial Aircraft Corp of China Ltd. alias Comac, masih bergantung dengan suku cadang dari AS untuk membangun pesawatnya.
Sumber Bloomberg menyebut Comac sebenarnya telah melakukan langkah strategis dengan menimbun mesin dan suku cadang untuk merampungkan lusinan pesawatnya pada tahun ini dari maskapai Hong Kong, Timur Tengah, dan Vietnam.
Bahkan, salah satu pejabat China mempertimbangkan meminta Airbus untuk memasok mesin jet baru buat Comac, atau tetap mengakses komponen pesawat asal pabrikan AS melalui negara lain yang telah menjadi bagian dari rantai pasok.
Sebagai contoh, pesawat C919 yang dirancang Comac memiliki kapasitas untuk 158 hingga 192 penumpang menggunakan mesin CFM International LEAP-1C, perusahaan patungan antara GE dan Safran SA dari Prancis, serta avionik dari Honeywell International Inc. dan Rockwell Collins.
Jet yang dipatok untuk bisa bersaing dengan keluarga Airbus A320 dan Boeing 737 itu pun masih mengandalkan sistem hidrolik untuk roda pendaratannya berasal dari Parker Aerospace di AS, sementara beberapa sistem kabinnya berasal dari Eaton Corp. yang berkantor pusat di Dublin.
C919 belum diberi lampu hijau oleh regulator keselamatan penerbangan lainnya untuk terbang di luar Tiongkok atau Hong Kong, yang berarti pesawat ini hanya digunakan oleh maskapai penerbangan Tiongkok di dalam negeri.
Pesawat Comac yang telah mulai dikenal dunia internasional hanya ARJ21 atau C909 yang mampu mengangkut hingga 97 penumpang. TransNusa Airlines dari Indonesia dan Lao Airlines dari Laos tercatat menjadi pengguna awal pesawat ini.
Angin Segar dari Negosiasi Indonesia
Sebelumnya, Boeing sempat diterpa krisis secara bertubi-tubi dari mulai isu keselamatan, dampak pandemi, mogok kerja para karyawan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Pada akhirnya, Boeing mencatatkan kerugian US$11,83 miliar atau sekitar Rp192 triliun sepanjang 2024. Kerugian ini bahkan tercatat lebih besar dari rugi tahunan era pandemi Covid-19 alias periode 2020.
Terkini, Indonesia sedang mempertimbangkan akan memboyong alutsista asal AS sebagai salah satu langkah negosiasi menekan efek dampak tarif Presiden Donald Trump, termasuk pembelian jet tempur F-15EX besutan Boeing.
Boeing bahkan sempat menjanjikan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hingga 85%.
Chief Executive Officer (CEO) Boeing untuk kawasan Asia Tenggara Penny Burtt mengatakan bahwa Boeing melihat pentingnya memperkuat rantai pasok lokal demi menciptakan ketahanan industri.
"Jika Indonesia memilih F-15EX, Boeing akan memenuhi 85% kebutuhan melalui produksi dan dukungan lokal. Kami memiliki tim yang kuat dan berdedikasi yang telah beberapa kali datang ke Indonesia dalam setahun terakhir untuk menjajaki peluang kemitraan dan investasi," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (16/4/2025).
Boeing juga mendorong keterlibatan perusahaan dalam negeri untuk menjadi bagian dari ekosistem F-15EX di Indonesia, serta melihat potensi yang signifikan untuk kolaborasi dalam rantai pasokan, MRO, hingga pelatihan.
Terlebih, ketika Presiden Prabowo sudah memiliki kesepakatan awal pembelian 24 unit jet tempur itu pada 2023, ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI.
Namun, komitmen ini dinilai sulit terealisasi karena biaya pembelian 24 unit F-15EX diperkirakan melebihi US$8 miliar, atau hampir setara dengan total anggaran pertahanan Indonesia periode 2024. Terlebih, Prabowo pun masih gencar melakukan program efisiensi anggaran.
Selain itu, dalam konteks belanja alutsista, Indonesia masih memiliki komitmen pembelian 42 jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation SA yang notabene telah dipatok sebagai prioritas.