Bisnis.com, JAKARTA – Sejarah pungutan pajak mencatat ungkapan Raja Salomo atau Sulaiman berkaitan dengan visi keadilan dan tegak-tidaknya suatu negeri (negara).
Dikatakan Salomo, “dengan keadilan seorang raja menegakan negeri, tetapi orang yang memungut banyak pajak meruntuhkannya” (Amsal 29:4).
Ungkapan di atas memberi makna bahwa pungutan pajak hakikinya bukan ditujukan dalam jumlah semata, tetapi pada sisi keadilan.
Target penerimaan pajak 2019 sebesar Rp1.786,4 triliun (82% dari pendapatan negara) mesti dimaknai supaya dilakukan secara adil.
Pemaknaan keadilan jauh lebih mudah dipahami jika posisi pemungut pajak (pemerintah) digunakan kata ‘pelayan’ atau ‘hamba’ bagi rakyat yang dilayani.
Jika pemungut pajak melakukan pungutan dengan menjadi ‘pelayan atau ’hamba’ maka wajib pajak dengan sendirinya akan menjadi ‘hamba’ sepanjang waktu (selama menjadi wajib pajak).
Itulah nasihat yang diberikan para sesepuh kepada Raja Rehabeam, anak dari Salomo yang menggantikannya. Nasihat keadilan pungutan pajak ditujukan karena rakyat pada saat itu menanggung pikulan/tanggungan pajak sangat berat. Rakyat meminta keringanan beban pajak yang dirasakan berat.
Kisah di atas menjadi cermin betapa tidak mudah melakukan pungutan pajak dengan adil. Makna tersebut juga tecermin ketika membaca polemik pungutan pajak e-commerce yang sudah ditetapkan Menteri Keuangan melalui PMK No.210/PMK.10/ 2018 (berlaku 1 April 2019).
Ketidakjelasan dan kesimpangsiuran informasi serta kekeliruan pemahaman seolah aturan tersebut melahirkan jenis pajak baru, menjadi dasar bagi menteri keuangan menarik kembali aturan tersebut (Bisnis Indonesia 1/4).
Menurut penulis, pencabutan aturan menjadi langkah kebajikan dalam rangka memberikan kebaikan bagi semua.
Sekalipun PMK 210/2018 semata-mata menjadi aturan penegasan dalam memberi kemudahan kepada pebisnis e-commerce dalam peningkatan kepatuhan pajak, boleh jadi tidak sepenuhnya dipahami seperti itu. Di sinilah perlunya kebajikan melangkah yang patut dilakukan pemerintah.
Beralaskan Sistem
Perbincangan kepatuhan pajak menjadi ramai saat terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2018 (mengubah PP 46/2013) yang menetapkan tarif PPh sebesar 0,5% bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM)/Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet penghasilan Rp4,8 milar per tahun. Mengapa ramai? Karena masih banyak pelaku usaha belum patuh.
Kepatuhan beralaskan sistem sejatinya memberi pemahaman mudah. Sistem self-assessment mestinya sudah menjadi alas hak bagi pelaku bisnis menjadi patuh. Bahkan kepatuhan mestinya menjadi lebih tinggi ketika teknologi canggih dimanfaatkan sebagai mekanisme pengawasan terhadap pelaku bisnis.
Era digital menjadi masa ketika aspek peningkatan kepatuhan menjadi mudah dan beralaskan sistem. Era digital menjadi pemicu dikenakannya sanksi dan denda pajak (fine and penalties) bagi wajib pajak yang sengaja untuk tidak patuh. Misalnya penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) melalui gawai memberi cara peningkatan kepatuhan di era digital saat ini.
Namun tidak dapat dipungkiri, kepatuhan beralaskan sistem juga mesti dibarengi empat hal pokok, yaitu kesadaran hukum, kejujuran, hasrat bayar pajak, dan disiplin diri wajib pajak (Rochmat Soemitro, 1998).
Mengambil posisi pada keempat hal di atas menjadi kebajikan yang mesti dijalani sesegera mungkin. Pentingnya melakukan kebajikan dalam pungutan pajak tidak semata berfikir pada tataran aturan hukum (undang-undang) yang seakan sudah bersifat filosofis dan yuridis.
Kesadaran hukum masyarakat (wajib pajak) dalam menaati dan mematuhi hukum sangat penting supaya aturan menjadi efektif.
Kesadaran hukum tersebut menyangkut faktor apakah aturan hukum (hukum pajak) diketahui, dipahami, diakui, dihargai dan ditaati wajib pajak sebagai pengguna hukum. Hal ini karena pungutan pajak tidak berfungsi jika tidak ada kesadaran hukum.
Menilik pesatnya perkembangan e-commerce yang tidak dapat dihentikan maka dengan sendirinya berpengaruh pada kesadaran hukum dibidang pajak. Misalnya dalam mendiskusikan kesadaran hukum terbitnya PMK 210/2018, dua sisi kebajikan pemikiran hukum bisa dianalisis.
Sisi pertama yaitu dengan semata menilik pada aturan kejelasan dengan maksud memperjelas aspek administratif dari makna aturan undang-undang serta peraturan pemerintah yang mengaturnya.
Adapun sisi kedua menilai PMK 210/2018 memberi kerepotan tersendiri dengan ragam pelaporan yang dilakukan pelaku e-commerce. Keharusan tersebut yang patut dipikir ulang dengan bijak.
Bahkan jika sisi ketiga terkait dengan sanksi pidana hendak diulas, mungkin akan memberi efek sangat negatif bagi perkembangan e-commerce. Padahal kita semua menginginkan perkembangan bisnis terus melaju kencang, sekencang perkembangan teknologi informasi yang digandrungi kaum milenial.
Tertib administrasi memberi tujuan kepastian hukum terkait dengan peningkatan kepatuhan, boleh jadi bukan melulu harus diatur secara kaku. Keluwesan administratif pelaporan dan ragam formulir yang disusun semestinya dibuat sesederhana mungkin.
Kalangan pebisnis e-commerce butuh kecepatan dan kesederhanaan. Menyadari hal demikian, kebijakan dan kebajikan dalam melakukan pungutan pajak menjadi dua hal penting untuk terus dikaji.
Dengan cara itu, melakukan pungutan pajak dengan adil demi tegaknya negeri menjadi harapan dan cita-cita bersama menuju Indonesia yang lebih baik.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (11/4/2019)