Bisnis.com, JAKARTA – Pasar properti Indonesia masih menghadapi tantangan hingga kuartal pertama 2019 salah satunya di sektor properti kantor. Pertumbuhan eknomomi Indonesia dinilai belum sanggup mendukung penyerapan ruang kantor.
Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan bahwa ada dua hal yang menjadi tantangan bagi perkembangan properti kantor, terutama di Jakarta saat ini yaitu dari internal dan eksternal.
Dari sisi internal, kata Ferry, tiap sektornya sudah mengalami kelebihan pasokan dan melampaui laju penyerapannya. Sedangkan dari sisi eksternal, pertumbuhan permintaan dan pasok akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suku bunga bank dan pertumbuhan ekonomi.
“Di beberapa sektor seperti perkantoran itu pertumbuhannya paling mudah diprediksi dengan melihat proyeksi PDB [Produk Domestik Bruto], itu karena korelasinya sebenarnya sangat tinggi antara penyerapan ruang kantor dengan PDB,” jelasnya di Jakarta, Selasa (2/4/2019).
Menurutnya, proyeksi PDB yang tumbuh menjadi 5,1 persen - 5,2 persen belum bisa mendukung penyerapan ruang kantor lantaran membuat daya beli atau sewa kantor jadi masih rendah, ditambah dengan pasok yang masuk jumlahnya terlampau banyak.
“Laju penyerapan rata-rata 250.000 unit per tahun, sedangkan tahun kemarin [2018] saja pasoknya sudah mencapai sekitar 700.000, jadi kecepatannya nggak sama. Belum lagi tahun ini ada tambahan sekitar 500.000-an, ini masih akan menjadi tantangan besar tahun ini,” lanjutnya.
Baca Juga
Adapun, pergerakan pembangunan infrastruktur dinilai Colliers Indonesia memicu pengembang untuk tetap melakukan pembangunan, karena melihat konsentrasi pergerakan manusia akan berada di sekitar infrastruktur.
Ke depan, sebagai salah satu strategi mencegah kekosongan properti ketika telah dibangun adalah dengan melakukan kesepakatan komitmen awal dengan calon tenant.
“Kalau ada kesepakatan awal pengembang bisa bangun sesuai dengan kebutuhan tenant, sampai masa sewanya habis. Hal itu sebenarnya normal dilakukan, tapi karena sekarang banyak yang bangun sehingga untuk nyari precommitment itu susah,” ungkapnya.
Hal itu, lanjut Ferry, memicu pengembang untuk membangun terlebih dahulu proyeknya. Hasilnya, banyak gedung yang sudah beroperasi tapi tingkat okupansinya sangat rendah, hanya sekitar 15%. Tingkat okupansi yang rendah akan memberatkan pengembang karena biaya operasionalnya yang tidak mungkin diturunkan.
“Idealnya, kalau mau beroperasi itu okupansinya sekitar 60 persen-70 persen, kalau tidak bisa berdarah-darah pengembang itu. Kantor kan nggak kaya rumah, ACnya sentral, belum biaya cleaning service dan perawatan yang harus mencakup seluruh gedung, tidak hanya satu lantai saja.”