Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai belum terintegrasinya rencana penataan ruang wilayah (RTRW) maupun rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) merupakan kesalahan utama pengelolaan danau di Indonesia.
Ida Bagus Putera Prathama, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK menilai pengintegrasian Rencana Pengelolaan (RP) Danau kedalaman RPJMD dan RTRW mudah dikatakan tetapi tidak mudah dilakukan.
"[Akan tetapi] penyempurnaan RTRW dengan memasukan RP Danau ini akan menyelamatkan ekosistem danau karena memungkinkan pengurangan erosi, sedimentasi dan pengurangan limbah dengan pendekatan penataan ruang yang ketat, sehingga penggunaan lahan disekitar danau dan sepanjang DAS yang bermuara ke danau dapat diatur dengan memperhatikan keseimbangan antara faktor ekonomi dan lingkungan," kata Putera di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Putera mengatakan danau di Indonesia memiliki multifungsi mulai dari sumber air minum, irigasi, perikanan, transportasi, pembangkit listrik, pariwisata, hingga pusat tumbuh budaya dan kearifan.
Bahkan di beberapa wilayah, danau telah menjadi icon pembangunan, karena perekonomian wilayah tumbuh dari keberadaan danau dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kendati demikian, kondisi Danau di Indonesia terus menurun.
Putera juga menyatakan bahwa fakta dari persoalan daerah tangkapan air (DTA) danau adalah sebagian besar DTA danau merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) yang digunakan sebagai lahan pertanian intensif.
Hal tersebut menjadi sumber sedimentasi dan erosi, sedangkan sebagian kecil lainnya yang merupakan kawasan hutan dengan kondisi kawasannya juga rusak. Ekosistem danau menurutnya juga merupakan bagian dari sistem DAS.
"Mengelola danau juga harus mengelola DAS sebagai satu kesatuan. Dalam konteks ini, maka kita dapat mengelola DAS khususnya di gunung," lanjutnya.
Guna mengembalikan fungsi DAS, dia juga menjelaskan bahwa salah satu caranya dengan merehabilitasi lahan (RHL) dengan penanaman.
Target RHL tahun 2019-2021 mencapai sekitar 3.31 juta hektare yang terdiri atas 2,05 juta hektare di dalam kawasan hutan dan 1,27 juta hektare di luar kawasan hutan. Areal RHL tersebut mencakup 15 DAS prioritas, 65 waduk, 9 DAS rawan bencana, dan 15 danau prioritas.
Selain itu, Putera juga menyoroti persoalan badan air danau. Menurutnya persoalan badan air danau adalah pada aspek pencemaran dan pemanfaatannya.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air KLHK Lukmi Purwandari menyatakan bahwa pengetahuan tentang sumber-sumber pencemar danau juga harus secara serius diketahui untuk mendapatkan solusi penyelamatan ekosistem danau yang tepat.
"Kita harus rutin melakukan pemantauan, seperti pemantauan kualitas air, selain itu kita juga harus tahu juga sumber pencemar danau dengan tepat. Selanjutnya baru disusun rencana aksi yang baik berupa perumusan regulasi, dan pembangunan teknis yang mendukung perbaikan ekosistem danau," kata Lukmi.
Dari sisi perencanaan tata ruang, Direktur Perencanaan Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Aria Indra Purnama menjelaskan bahwa konsep pengelolaan danau dalam penataan ruang untuk penyelamatan danau menurut kementeriannya dilihat dari sudut catchmen area/Daerah Tangkapan Air (DTA). Menurutnya, tata ruang harus disusun dengan mempertimbangkan kondisi DTA yang berkelanjutan.
"Prinsip untuk menyelamatkan danau dengan pendekatan tata ruang adalah mengatur zona badan air untuk kepentingan zona pelayanan wilayah hilir, serta mengatur zona perlindungan daerah DTA dan zona sempadan dan buffer untuk kepentingan zona badan air danau agar erosi dan sedimentasi dapat diminimalisir," ujar Aria.
Senada, Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Pemanfaatan Tanah Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang juga menyampaikan terkait penguasaan tanah di wilayah DTA Situ, Danau, Embung, Waduk (SDEW) yang harus bebas konflik, harus disertai sertifikasi atas nama negara guna mendukung pelestarian ekosistem danau.
Hal tersebut menurutnya penting mengingat kondisi di lapangan yang masih banyak ditemui lahan dengan status hak milik pribadi dan swasta di sempadan SDEW sehingga harus dipantau dengan baik agar aktivitas penggunaannya yang berimbas pada ekosistem danau dapat diperkirakan.
"Deliniasi areal SDEW harus dipastikan less conflict, jangan ada hak atas tanah di sempadannya, dan ini harus disertifikat atas nama negara. Kemudian penataan zonasi harus dibuat dan ditepati, mana yang boleh dan tidak boleh dibangun disana," katanya.
Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno menyampaikan danau merupakan rumah bagi ratusan jenis spesies baik yang hidup di dasar danau, permukaan, maupun di sempadannya.
Kondisi danau yang rusak akan mendorong kita kehilangan spesies sebagai entitas biologi, kehilangan materi genetika dan biokimia serta terganggunya ekosistem danau.
"Ancaman terhadap ekosistem danau berasal dari ancaman introduksi jenis spesies asing, konversi hutan, sampah dan gulma, ilegal logging, erosi dan sedimentasi, dan penegakan hukum yang semakin sulit karena modus operandi yang semakin canggih," ujar Wiranto.
Wiranto juga menambahkan bahwa dari 15 Danau Prioritas hanya 3 yang masuk dalam kawasan konservasi, yaitu: Rawa Danau di Banten, Danau Matano di Sulawesi Selatan dan Danau Sentarum di Kalimantan Barat.
Direktur Jenderal Sumberdaya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi juga menyampaikan penting untuk menetapkan batas garis sempadan Danau agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumberdaya yang ada pada sungai dan danau dapat dilaksanakan serta mencegah kerusakan yang mungkin terjadi.
"Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 tahun 2015 garis sempadan danau ditentukan paling sedikit berjarak 50 meter dari muka air tertinggi, hal ini diatur untuk menjaga kondisi ekosistem danau agar tetap berkelanjutan," kata Hari.