Bisnis.com, JAKARTA - Uni Eropa tidak bergeming sekalipun pemerintah membawa perseteruan terkait kelapa sawit ke meja WTO.
Vincent Guerend, Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia tidak ambil pusing apabila pemerintah akan membawa perseteruan sampai ke World Trade Organization (WTO). Menurutnya hal tersebut akan lebih baik daripada perseteruan harus berlarut-larut.
"Saya kira kalau ada ketidaksepakatan dalam perdagangan, ini harus diuji di WTO dan ini adalah jalan terbaik dan kita percaya sengketa bisa diselesaikan dengan cara yang tepat," katanya pada Rabu (20/3/2019).
Guerend meyakini yang dibutuhkan kedua belah pihak saat ini adalah standar yang kuat dan kredibel, transparan, dan bisa diterima semua pihak. Bahkan dia mengingatkan pemerintah bahwa WNI yang bekerja di perusahaan Eropa sebanyak 1,1 juta jiwa dan itu tidak akan baik bila kondisi terus memanas.
"Bahkan kalau Indonesia sampai memboikot produk UE ini akan menjadi lose-lose dan kita maunya ada win-win dalam sustainable dan dalam CEPA saya katakan sebelumnya ini berdasarkan pada kepentingan bersama dan akan menjadi win-win," katanya.
Sebelumnya diketahui bahwa Indonesia telah menyampaikan 10 poin keberatan dan mengancam akan menggugat Uni Eropa ke WTO terkait dengan keputusan pelarangan minyak sawit mentah menjadi bahan bakar minyak.
Langkah tersebut ditempuh menyusul pengumuman Komisi UE pada Kamis (14/3/2019), yang memutuskan bahwa minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) adalah produk tidak ramah lingkungan dalam skema Renewable Energy Directive (RED) II.
Dalam skema RED II, Komisi Eropa menetapkan apabila perluasan lahan yang menyebabkan kerusakan alam di atas 10% akan dianggap sebagai produk berbahaya dan tidak akan digunakan di UE.
Menurut Guerend, RED II adalah jendela untuk produsen sawit agar tersertifikasi low risk of land use change (ILUC). Selain itu ada banyak perkebunan yang lebih luas yang dapat disaksikan melalui data dalam ILUC. Selain itu, ada fleksibilitas dalam sistem ini yang tidak seperti hitam dan putih. Regulasi tersebut pun berkemungkinan direvisi pada 2021 dan 2023 tergantung pada perjalanannya.
"Saya tahu isu ini sangat serius untuk kita dan Indonesia dan saya sampaikan ada fleksibilitas dalam sistem dan regulasi yang didaopsi dan mungkin akan ada modifikasi karena ini industri besar," pungkasnya.