Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri kehutanan menyambut baik skema perdagangan karbon yang diinisiasi oleh pemerintah.
Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia menilai bahwa mekanisme perdagangan karbon menjadi insentif yang menarik untuk mendorong rehabilitasi dan konservasi hutan yang terdegradasi.
“Sektor usaha kehutanan menyambut baik skema perdagangan karbon, yang dihasilkan dari usaha jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Pemegang Izin. Ini menjadi bagian dari konfigurasi bisnis kehutanan yang didorong oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. [Skema ini bisa] menjadi diversifikasi usaha yang dapat dikembangkan oleh Pemegang Izin [konsensi],” tuturnya kepada Bisnis, Senin (18/3).
Dia menambahkan ada beberapa prinsip tahapan dalam usaha perdagangan karbon yaitu; Pertama, penentuan baseline dan penilaian awal project oleh pihak independen di areal yang diajukan (sebelum dilakukan rehabilitasi). Kedua, pelaksanaan rehabilitasi dan konservasi hutan.
Ketiga, penilaian hasil rehabilitasi dan konservasi hutan oleh Pihak Independen (proses monitoring, reporting dan verifikasi). Keempat, penerbitan sertifikat stok karbon oleh pihak independen.
Kelima, penawaran sertifikat stok karbon kepada pihak-pihak yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Terakhir, transaksi perdagangan karbon apabila ada kesesuaian harga.
Purwadi mengatakan dengan persyaratan dan mekanisme tertentu, maka dengan kegiatan rehabilitasi dan konservasi di areal hutan yang sudah terdegradasi, maka keuntungan yang akan didapatkan oleh para Pemegang Izin Konsesi adalah mereka dapat mengajukan kompensasi atas nilai stok karbon yang dihasilkan kepada pihak-pihak yang selama ini menyebabkan emisi GRK.
“Tentu, nilai ini akan diselaraskan dengan penurunan emisi yang ditargetkan Indonesia dalam dokumen Nationally Determined Contribution [NDC],” katanya.
Agar skema ini menarik, Purwadi mengatakan perlu ada insentif dalam menjalankannya seperti insentif fiskal seperti keringanan pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
“Karena pemegang izin [konsesi] tersebut [telah] mengelola dan merehabilitasi areal hutan yang tidak ditebang dimana [hal tersebut] menghasilkan dampak positif terhadap lingkungan,” tandasnya.