Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian meyakini bahwa pengembangan bisnis PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) akan berkontribusi bagi industri nasional. Salah satunya pasokan petrokimia bagi industri di dalam negeri bakal lebih terjamin.
Namun, jika ingin membesarkan kemampuan dari sisi petrokimia, maka persoalan di Tuban Petro memang harus diselesaikan. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono.
Sigit menyebut bahwa rencana pemerintah yang akan menyelesaikan utang MYB Tuban Petro Rp3,2 triliun, antara lain melalui alternatif konversi, sudah tepat. Apalagi, lanjutnya, Tuban Petro dapat digunakan sebagai basis pengembangan industri petrokimia nasional.
Ia mengatakan bahwa industri akan mendapatkan manfaat dari pengembangan Tuban Petro Group. Antara lain, industri dalam negeri, akan lebih kuat karena mendapat pasokan bahan baku lebih stabil yang selama ini masih bergantung pada impor.
Karena itu, Sigit menilai langkah pengembangan Tuban Petro harus didukung oleh semua pihak. Kapasitas produksi di anak usaha TubanPetro, khususnya PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang selama ini hanya difungsikan pengolah BBM, bisa ditingkatkan lebih lagi.
Selama hambatan pengembangan TPPI karena utang warisan masa lalu yang menumpuk. Permasalahan utang ini membuat kilang TPPI belum bisa beroperasi penuh. Padahal, kilang ini dinilai bisa menekan impor produk hasil migas dan menghemat devisa.
Baca Juga
TPPI dapat difungsikan memproduksi benzene, toluene and xylene (BTX), sebagai bahan baku industri kimia dasar, industri tekstil, industri kemasan, dan lain-lain. “Peran TubanPetro sangat besar mendukung industri, ketahanan energi, sekaligus membantu menekan defisit,” kata Sigit, dalam keterangan tertulis, Senin (18/3/2019).
Kemenkeu juga memastikan, rencana pengembangan industri petrokimia nasional melalui TubanPetro bergerak maju. Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan dan TubanPetro telah melaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).
RUPSLB pada Agustus 2018 itu memutuskan dilakukannya kajian penyelesaian utang multi years bond (MYB) senilai Rp3,2 triliun di TubanPetro. Saat ini, Kementerian Keuangan memiliki saham 70% di Tuban Petro.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Isa Rachmatarwata mengatakan bahwa kajian penyelesaian utang itu dimaksudkan untuk menuntaskan kendala-kendala yang menghambat Tuban Petro, terutama dari sisi struktur permodalan dan keuangan. Dengan begitu, pengembangan bisnis ke depan dapat dilakukan dengan lebih optimal.
Setelah menjadi prusahaan normal pasca-penyelesaian MYB, Tuban Petro bersama anak-anak usahanya akan digunakan sebagai basis pengembangan industri petrokimia nasional, untuk mendukung ketahanan energi dan industri.
“Saat ini, kajian-kajian menuju alternatif terbaik, telah dan sedang dilakukan, dengan transparan dan akuntabel. Langkah ini bertujuan untuk menyelamatkan piutang serta optimalisasi aset negara,” tutur Isa.
Sebagai catatan, langkah penyelesaian utang MYB dilakukan sehubungan dengan restrukturisasi utang perusahaan, di mana pada 27 Februari 2004, Tuban Petro menerbitkan obligasi kepada Kemenkeu berupa MYB dengan nilai pokok Rp3,266 triliun.
Tuban Petro kemudian dinyatakan gagal bayar (default) pada 27 September 2012. MYB ini yang kemudian akan diselesaikan.
JANJI TRANSPARAN
Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries Sukriyanto memastikan bahwa proses penyelesaian MYB akan dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Komitmen transparansi dalam melakukan kajian penyelesaian utang dibuktikan dengan sudah/akan dilibatkannya sejumlah lembaga seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mabes Polri, dan sejumlah konsultan independen, untuk memastikan kebijakan yang diambil sah secara hukum.
“Kami mengedepankan prinsip good corporate governance dalam penyelesaian utang di TubanPetro. Setiap tahapan proses melibatkan BPKP, agar proses clear dan bermanfaat. Hal itu juga menjadi komitmen Kemenkeu selaku pemegang saham mayoritas,“ kata Sukriyanto.
Bicara metode konversi utang menjadi saham sebagai salah satu alternatif penyelesaian, secara bisnis merupakan hal lumrah dalam urusan penyelesaian utang-piutang perusahaan. Alternatif-alternatif dikaji supaya perusahaan (Tuban Petro) menjadi sehat dan kembali berjalan secara optimal sehingga bisa fokus pada peningkatan kapasitas produksi dan daya saing.
“Kajian penyelesaian utang ini dilaksanakan semata-mata untuk memastikan agar TubanPetro sebagai entitas bisnis, dapat berkembang semakin baik dan memberi manfaat luas kepada masyarakat dan negara,” imbuhnya.
Investasi negara yang sudah ditanamkan ke Tuban Petro, kemudian diperkuat lagi dengan kebijakan penyelesaian utang sehingga Grup Tuban Petro diharapkan akan terus berkembang.
Karena itu, ia mengklaim bahwa kebijakan ini bukan semata-mata mengembalikan dari sisi modal usaha, namun juga value tersebut terus dikembangkan melalui anak-anak usaha dan memberi manfaat terhadap pemasukan negara serta pengembangan industri petrokimia nasional.
“Kami juga desainkan, pasca-penyelesaian MYB, bagaimana hubungan dengan anak usaha, meng-capture value di dalam holding company. Kami pun terus melakukan transformasi organisasi. Rencana bisnis yang sudah siap, segera dikembangkan dan diharapkan membuahkan hasil yang tidak terlalu lama,” lanjutnya.
Sejak default, ia memastikan bahwa kuasa saham pemilik lama sudah beralih sepenuhnya kepada pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu. Manajemen Tuban Petro pun sepenuhnya merupakan representasi dari Kemenkeu, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Baik sisi operasional maupun keputusan-keputusan manajemen, sudah tidak ada campur tangan lagi dari pemilik lama.
“Concern penyelesaian utang MYB ini adalah terutama untuk meningkatkan bank capacity perusahaan. Dengan dilakukannya penyelesaian utang, diharapkan akan membuat investor lebih tertarik masuk ke Tuban Petro,” pungkas Sukriyanto.
Merunut sejarahnya ke belakang, TPPI dirintis pada 1995 oleh Tirtamas. Sayangnya, krisis moneter memaksa perusahaan ini diserahkan oleh sang pemilik kepada pemerintah.
Kemudian Tuban Petro dibentuk 2001 sebagai sebuah holding untuk penyelesaian utang PT Tirtamas Majutama. Tuban Petro dibentuk oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai untuk penyelesaian utang Rp3,2 triliun dari Grup Tirtamas Majutama kepada sejumlah bank.
Tirtamas merupakan kelompok usaha yang dimiliki secara bersama Honggo Wendratno, Hashim Djojohadikusumo, dan Njoo Kok Kiong atau Al Njoo. Dalam proses restrukturisasi utang, Hasjim dan Al Njoo cabut, sehingga tersisa Honggo.