Bisnis.com, JAKARTA -- Pembahasan mengenai sejumlah masalah pokok di sektor ketenagakerjaan harus dilakukan kedua calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2019, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno, dalam debat terbuka ketiga, Minggu (17/3/2019).
Ketenagakerjaan menjadi salah satu tema yang diangkat dalam debat kali ini, bersama tema kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya.
Salah satu masalah ketenagakerjaan yang perlu diperhatikan dan dicarikan jalan keluarnya adalah kurangnya kompetensi dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Menghadapi revolusi industri 4.0, tenaga kerja Indonesia dianggap belum memiliki kesiapan dan skill yang mumpuni.
Pandangan itu disampaikan Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) LIPI Triyono. Menurutnya, kekurangan skill turut disebabkan oleh kurangnya pelatihan keterampilan dan keahlian yang diterima tenaga kerja sebelum memasuki dunia kerja.
“Dilihat dari suplai, masih belum siapnya lulusan SMK maupun perguruan tinggi dalam bersaing di pasar kerja. Perlu adanya pelatihan bagi tenaga kerja maupun siswa agar memiliki keahlian dan ketrampilan sehingga mampu bersaing,” ujar Triyono kepada Bisnis, Selasa (12/3).
Siswa melakukan praktik program teknik kelistrikan di Sekolah Menengah Kejuruan ORA et LABORA, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (18/10/2018)./Bisnis-Abdulah Azzam
Selama ini, untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja, pemerintah memiliki program pelatihan melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Tempat pelatihan kerja itu ada yang dikelola pemerintah pusat, daerah, komunitas, maupun kerja sama dengan swasta.
Tetapi, keberadaan BLK yang jumlahnya mencapai 301 unit masih belum cukup meningkatkan keahlian tenaga kerja. Pasalnya, sarana pelatihan di tiap BLK dianggap tak cocok untuk menjawab kebutuhan industri saat ini.
“Justru masalah utama di sarana kebutuhan di dunia pendidikan. Kalau BLK, menurut saya bukan hanya penambahan saja, tapi sarana alat praktik dan dukungan dana sangat diperlukan, khususnya di daerah," tuturnya.
Triyono menganggap jumlah alat praktik di SMK dan BLK belum memadai untuk jumlah siswa dan tenaga kerja yang butuh dilatih. Pendapat itu diamini Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam.
Berdasarkan perhitungan Apindo, dalam 10 tahun ke depan, ada 60% tenaga kerja yang butuh dilatih ulang keterampilan dan keahliannya (re-skilling) guna menghadapi revolusi industri 4.0. Pelatihan ulang itu membutuhkan dana dan sarana yang besar.
Bob mencontohkan jika dihitung berdasarkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang berjumlah 120 juta lebih, maka 72 juta tenaga kerja perlu menjalani re-skilling dalam 10 tahun mendatang. Jika dibagi per tahun, maka ada 7,2 juta orang yang harus mendapat pelatihan ulang.
Jika dihitung secara kasar, maka biaya yang dibutuhkan untuk re-skilling tiap tenaga kerja adalah Rp10 juta. Dengan demikian, harus ada dana sekitar Rp70 triliun lebih untuk melakukan re-skilling tiap tahunnya.
“Ini harus disiapkan ekosistemnya. Kalau dibebankan ke pemerintah semua kan pasti enggak ada biayanya. Jadi harus dicari juga sumber-sumber pembiayaan,” paparnya.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia tiba di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali./JIBI
Tak Cukup BLK
Pelatihan ulang tenaga kerja tidak bisa semata mengandalkan BLK yang sudah ada. Bob menyatakan harus ada pembicaraan komprehensif antara pemerintah pusat, daerah, serta pelaku industri di tiap wilayah untuk mengadakan pelatihan agar tepat guna dan sasaran.
Apindo menyarankan dibentuknya Komisi Pelatihan Vokasi Daerah untuk membantu proses re-skilling tenaga kerja. Komisi itu harus berisi perwakilan pelaku industri, Pemerintah Daerah (Pemda), dan serikat pekerja, yang bertugas mengidentifikasi kebutuhan pekerja di wilayah masing-masing serta menentukan sumber pendanaan pelatihan.
“Jadi enggak bisa semua dikerjakan pemerintah pusat, harus kerja sama bareng-bareng Pemda dan industri tiap daerah. Enggak cukup [mengandalkan BLK] karena kapasitas BLK kan paling 200.000 tenaga kerja per tahun. Harus kerja sama dengan fasilitas pelatihan yang ada di industri,” ucapnya.
Harapan terhadap adanya pembahasan komprehensif tentang persoalan ini oleh kedua calon wakil presiden (cawapres) pun membumbung. Pemerintah juga diminta segera menyiapkan segala peraturan untuk mendukung pelatihan ulang tenaga kerja dalam skala besar.
Persoalan rendahnya kemampuan dan daya saing tenaga kerja Indonesia juga pernah disinggung peneliti ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Gumilang Aryo Sahadewo. Dia memandang ada ketidakcocokan keterampilan yang didapat generasi muda dari dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Data yang dimilikinya menyebutkan bahwa saat ini, hanya ada 1,6% pendidikan ilmu sains yang dibuka untuk generasi muda. Kemudian, pendidikan di bidang Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) serta Matematika masing-masing hanya sebesar 9,8% dan 9,3%.
Karena kekurangan akses pendidikan ilmu teknik, sains, dan teknologi maka pemerintah diharap perlu menambah jumlah BLK.
Gumilang juga menyarankan dibentuknya lembaga pendidikan vokasional untuk memberikan pelatihan keterampilan kerja bagi generasi muda.
"Saat ini, hanya ada 19 BLK yang dikelola pemerintah pusat dan 284 BLK dikelola Pemda. Itu belum ditambah kondisi BLK dengan kurikulum dan keterampilan yang masih tidak seusai dengan kebutuhan industri,” terangnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (1/3).
Produktivitas tenaga kerja lokal juga menjadi hal lain yang mesti diperhatikan. Mengacu pada laporan World Economic Forum (WEF) 2018, Indonesia masih berada di peringkat 45 dalam indeks daya saing global.
Meski demikian, posisi itu naik 2 tingkat dari peringkat 47 pada tahun sebelumnya.
Pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengklaim produktivitas tenaga kerja terus meningkat dalam periode 2011-2017. Pada 2017, produktivitas tenaga kerja di Indonesia tumbuh 2,89%, lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang naik sebesar 1,85%.
Kemenaker juga mencatat adanya peningkatan produktivitas jam kerja.
Pada 2017, produktivitas jam kerja nasional berada di posisi Rp39.355/jam/tenaga kerja. Angka itu meningkat dari Rp38.177/jam/tenaga kerja pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tetapi, sepanjang 2015-2019, dana yang dialokasikan Kemenaker untuk program peningkatan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja masih naik turun.
Pada 2018, anggaran yang disiapkan adalah Rp2,05 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dari anggaran 2017 yang sebesar Rp1,56 triliun, Rp885,5 miliar pada 2016, dan Rp1,12 triliun pada 2015.
Masalah Kunci
Menurut pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak, peningkatan kompetensi tenaga kerja menjadi kunci untuk mengatasi problem lain yang dihadapi kelas pekerja seperti rendahnya upah dan tingginya angka pengangguran.
Dia menganggap jika kompetensi orang meningkat, maka kesempatan mereka mendapat kerja sesuai kebutuhan dunia industri akan semakin besar. Kenaikan kompetensi dipercaya bisa meningkatkan daya saing industri, yang berimbas pada tumbuhnya keuntungan perusahaan.
“Kalau produktivitas naik, daya saing naik, upah naik, kesejahteraan naik, kan begitu,” ujar Payaman kepada Bisnis.
Ma’ruf dan Sandiaga juga diharapkan bisa menyampaikan rencana mereka ihwal peningkatan akses informasi terkait kesempatan kerja dalam debat nanti.
Kebutuhan informasi soal lapangan pekerjaan dianggap menjadi kunci untuk menurunkan tingkat pengangguran, yang saat ini mencapai 7 juta orang atau 5,34% dari total angkatan kerja 131 juta orang.
Pentingnya pemenuhan jaminan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia juga turut disinggung. Jaminan sosial bagi pekerja selama ini diberikan melalui program BPJS Ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri (kiri) bersama Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Krishna Syarif (ketiga kiri) mengamati alat pelindung kepada pekerja, usai membuka peringatan Bulan K3 Nasional Tahun 2019, di Jakarta, Selasa (15/1/2019)./Bisnis-Endang Muchtar
Hingga akhir 2018, ada 50,7 juta pekerja yang menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan. Dari jumlah itu, sebanyak 30,5 juta pekerja menjadi peserta aktif dan 20,2 juta peserta tidak aktif atau tidak membayar iuran.
Jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan itu belum mencapai separuh dari jumlah tenaga kerja Indonesia. Meski BPJS Ketenagakerjaan menargetkan penambahan peserta aktif sebesar 14,75% pada 2019, tapi jumlah itu juga belum mencakup semua pekerja.
Peningkatan cakupan BPJS Ketenagakerjaan harus mendapat perhatian serius. Sebab, dengan jaminan sosial tersebut pekerja bisa mendapat jaminan jika mereka mengalami kecelakaan kerja, sakit, pensiun, pemecatan, atau meninggal dunia.
“Sebenarnya semua harus dicakup. Jadi termasuk yang kerja dan bukan pekerja, semua harus tercakup. Sebenarnya [jaminan sosial] sudah jalan, tapi karena masih ada yang belum tercakup ya tentu ke depannya semoga menjadi kerja berat agar semua [masyarakat] tercakup,” jelas Payaman.