Bandara Baru Sebagai Motor Penggerak
Pengembangan Bandara Wiriadinata bisa menjadi penggerak rute T1 yang selama ini mati suri kendati sudah dibuka oleh pemerintah sejak 12 Oktober 2012. Hingga saat ini, maskapai enggan untuk menggunakan rute tersebut karena dinilai tidak lebih efisien dibandingkan dengan rute pendahulunya Whiskey Four Five (W45) yang berada di bagian Utara Jawa.
Salah satu rute penerbangan terpadat di dunia tersebut digunakan untuk menghubungkan jalur penerbangan antara Jakarta menuju Denpasar, Kupang, hingga Maumere. Tidak kurang sekitar 4.000 pergerakan pesawat per bulan melintas di atasnya.
Optimalisasi rute T1 boleh jadi merupakan salah satu dari pengembangan jalur selatan-selatan Kementerian Perhubungan. Setelah Bandara Wiriadinata, Budi Karya akan mencanangkan pembangunan bandara di Sukabumi yang saat ini sudah ditetapkan lokasinya dan Nusawiru di Pangandaran.
Bergeser ke tengah Jawa, akan ada Bandara Wirasaba di Purbalingga dan Bandara Internasional Yogyakarta Baru (New Yogyakarta Internasional Airport/NYIA) di Kulon Progo. Selanjutnya, di wilayah Timur menanti penyelesaian Bandara Kediri yang pembangunannya digarap oleh PT Gudang Garam Tbk.
"Saya sudah katakan bahwa ada tekad pemerintah untuk mengembangkan [rute] Selatan Jawa. Bila ada [kendala di] TNI AU itu masalah teknis dan komunikasi, bukan prinsip, itu bisa diatur," kata Budi pekan lalu.
Menurutnya, pengembangan konektivitas udara bukan hanya dilakukan pada utara Jawa melainkan juga selatan. Diharapkan, ini bisa menjadi potensi baru bagi kegiatan ekonomi dan wisata.
Apabila seluruh bandara tersebut sudah beroperasi, terkoneksi, dan menghasilkan permintaan, tidak menutup kemungkinan maskapai akan secara sukarela melintas di rute T1. Rute tersebut bisa menjadi tulang punggung baru bagi penerbangan di intra Jawa.
Sementara itu, IGN Askhara Danadiputra, selaku Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA), menyebut langkah pemerintah yang melakukan pembangunan bandara baru di wilayah selatan bisa menjadi solusi yang mengakomodasi dua kepentingan.
"Jalur Selatan [T1] bila digunakan untuk rute Jakarta—Denpasar PP memang lebih jauh. Jalur itu efisien digunakan untuk rute Denpasar—Yogyakarta PP, Denpasar—Solo PP, maupun dari dan ke Tasikmalaya," kata pria yang akrab disapa Ari Askhara.
Maskapai juga senang jika optimalisasi rute T1 berhasil dilakukan. Jalur W45 yang saat ini sudah terlalu padat, sehingga bisa berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan dan berdampak terhadap ketepatan waktu terbang (on time performance/OTP).
Melalui T1, mantan Direktur Utama PT Pelindo III (Persero) ini menyebut sebagian penerbangan maskapai yang biasanya menggunakan rute W45 bisa terdistribusi dan kepadatan bisa berkurang.
"Justru bila kita diizinkan melalui wilayah udara restricted military area, semakin memperpendek jarak. Rute T1 saat ini memiliki selisih 20 NM [nautical mile] lebih jauh dibandingkan dengan jalur selatan untuk rute Jakarta--Denpasar," ujarnya.