Bisnis.com, JAKARTA — Tiga bank besar (BCA, Mandiri, BNI) mengucurkan kredit sindikasi senilai Rp3,96 triliun dan US$140,6 juta untuk PT Tamaris Hidro, perusahaan pembangkit listrik di bawah kendali Grup Salim.
Pendanaan proyek pembangkit Grup Salim menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (21/2/2019). Berikut laporannya.
Berdasarkan sumber Bisnis, perjanjian kredit sindikasi itu ditandatangani PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Central Asia Tbk.—yang juga merupakan bagian dari Grup Salim—pada 18 Januari 2019.
Suku bunga kredit rupiah ditentukan sebesar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) rate +4,5%, sedangkan untuk valuta asing senilai London Interbank Offered Rate (LIBOR)+3%.
Presiden Direktur Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja yang dimintai konfirmasi perihal informasi ini membenarkan adanya penyaluran kredit itu.
BCA, lanjutnya, menyalurkan pendanaan sebesar Rp2,7 triliun dengan tenor 7 tahun—12 tahun.
“Mix antara dolar dan rupiah, tergantung kontrak masing-masing proyek dengan PLN ,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/2/2019).
Menurutnya, kredit sindikasi setara Rp5,92 triliun tersebut (kurs Rp14.000 per dolar AS) itu akan dipakai oleh Tamaris Hidro untuk mendanai proyek Pembangkit listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH).
VP Corporate Solution Group Bank Mandiri Budi Purwanto yang dihubungi Bisnis juga mengonfirmasi informasi itu.
Dia mengatakan, BMRI menyalurkan pendanaan hingga Rp2 triliun dalam kredit sindikasi tersebut. Pembiayaan itu terbagi dalam beberapa tahapan sesuai dengan perkembangan proyek dan kebutuhan debitur.
Adapun, Direktur Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI) Anggoro Eko Cahyo tidak merespons pesan dari Bisnis.
Saat Bisnis mengonfirmasi tentang kredit sindikasi tersebut, Mohammad Syahrial, Presiden Direktur Tamaris Hidro—yang 85% sahamnya dimiliki oleh Grup Salim—tidak dapat dihubungi hingga berita ini diturunkan.
Sementara itu, Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Air menilai pengembangan PLTMH sangat menarik lantaran dari sisi tarif listrik yang dihasilkan sudah cukup rendah untuk keekonomian di banyak wilayah dan tidak merugikan PLN.
Riza Husni, Ketua Umum Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Air, mengatakan sejauh ini swasta hanya menginginkan agar 85% dari biaya pokok penyediaan ditetapkan sebagai harga minimum sehingga proses negosiasi tak berbelit.
“Namun saat ini, hal nontarif, seperti proses serta klausul kontrak tidak menarik bagi investor maupun perbankan. Tentu ada saja yang masih membangun karena sudah terlanjur, tetapi tidak menumbuhkan minat baru,” katanya.
MAKIN AGRESIF
Berdasarkan penelusuran Bisnis, Grup Salim telah masuk ke bisnis pembangkit listrik tenaga air dan minihidro sejak 2011 dengan mendirikan Tamaris Hidro. Setelah itu, konglomerat ini makin agresif menyasar bisnis energi terbarukan.
Hal ini dilakukan melalui PT Nusantara Infrastructure Tbk. yang sahamnya dimiliki secara tidak langsung oleh Grup Salim dengan kendaraan PT Metro Pacific Tollways Indonesia (MPTI). MPTI merupakan anak usaha dari Metro Pacific Tollways Corporation (MPTC).
Adapun, MPTC adalah unit usaha dari Metro Pacific Investments Corporation (MPIC). Dalam struktur pemegang saham MPIC, 42% saham MPIC dimiliki oleh perusahaan manajemen investasi dan holding di bawah pimpinan Anthoni Salim, First Pacific Co Ltd.
Deden Rochmawaty, General Manager Corporate Affairs Nusantara Infrastructure, mengungkapkan bahwa emiten berkode saham META itu menjalankan lini bisnis energi melalui entitas anak PT Energi Infranusantara (EI) yang didirikan pada 2012.
Pada tahun yang sama, Deden menyebut EI mengakuisisi 45% saham PT Inpola Meka Energi (IME) yang mengembangkan proyek Lau Gunung Hydro Power Plant di Tanah Pinem, Sumatra Utara.
IME direncanakan memiliki kapasitas 15 MW. Selain itu, perseroan telah meneken kontrak 20 tahun dengan PLN untuk memasok listrik kepada konsumen di Sumatra.
Selain itu, EI juga telah mengakuisisi 80% saham di PT Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL) pada 2018. RPSL merupakan independent power producer (IPP) yang menjalankan pembangkit listrik biomasa di Siantan, Mempawah, Kalimantan Barat.
RPSL telah beroperasi selama 8 bulan dengan kapasitas 15 MW. Perseroan telah memiliki kontrak untuk memasok 8 MW kepada PLN dan menjadi pembangkit biomasa pertama di Kalimantan Barat.
“Kapasitas yang dimiliki saat ini dari dua aset kami, Lau Gunung dan RPSL yakni total 30 megawatt” ujarnya.
Tidak hanya bermain di sektor energi terbarukan, Grup Salim juga merambah ke bisnis pengolahan air melalui kepemilikan di Moya Holdings Asia Limited.
Grup Salim masuk ke Moya Holdings dengan kepemilikan sebesar 68,95% melalui Tamaris Infrastructure Pte. Ltd. yang dikontrol oleh Tamaris Hidro, mengacu pada laporan keuangan Moya Holdings pada 2015.
Moya Holdings memiliki tiga proyek Build-Operate-Transfer (BOT) pengolahan air berdurasi 25 tahun di Bekasi, Tangerang, dan Makassar.
Tiga proyek tersebut diperoleh pada Agustus 2011, Februari 2012, dan Agustus 2013.
Selain itu, Moya Holdings—melalui anak usaha Acuatico Pte. Ltd—juga memiliki saham di PT Aetra Air Jakarta (95%), PT Aetra Air Tangerang (95%), dan PT Acuatico Air Indonesia (90%).