Bisnis.com, JAKARTA - William Henley Founder IndoSterling Capital menyebutkan ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari defisit neraca perdagangan 2018
Menurutnya. dalam konferensi pers di kantor pusat Bank Indonesia (BI), Jakarta, Jumat (8/2/2019), BI melaporkan CAD Indonesia pada kuartal IV-2018 mencapai 9,1 miliar dolar AS (3,57 persen terhadap PDB) atau naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 8,6 miliar dolar AS (3,28 persen terhadap PDB).
Dengan demikian, secara full year, CAD Indonesia mencapai 31 miliar dolar AS (2,98 persen terhadap PDB). Nilai itu diklaim BI masih terjaga karena berada di bawah batas aman yang disepakati konsensus internasional, yaitu 3,0 persen terhadap PDB. Walaupun, nilai CAD 2018 merupakan yang terdalam sejak 2014 lalu.
Lalu, apa hikmah yang dapat dipetik dari CAD 2018? Berikut menurut William Henley dalam tulisannya:
Penyebab utama
Dalam perekonomian, ada sejumlah neraca yang memainkan peranan penting. CAD dan defisit anggaran merupakan dua indikator utama dalam mengukur kesehatan ekonomi suatu negara. Apabila salah satu di antara kedua neraca tidak sehat, maka perekonomian negara itu tak akan dilirik sama sekali.
Dalam konteks Indonesia, defisit anggaran, dalam hal ini APBN 2018, tergolong aman. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan defisit APBN 2018 sebesar 1,72 persen terhadap PDB atau lebih rendah dari pada target dalam UU APBN 2018, yaitu 2,19%. Angka itu menunjukkan kemampuan Indonesia mengelola anggaran dengan baik.
Di sisi lain, ada masalah dalam CAD. Walaupun BI dan pemerintah mengklaim masih aman, angka CAD 2018 2,98 persen terhadap PDB patut dicermati sebagai sebuah alarm.
Apabila menyimak data yang dilaporkan BI, CAD tahun lalu memang dipicu pertumbuhan impor yang tak mampu diimbangi pertumbuhan ekspor. Impor meroket hingga 21 persen, sedangkan ekspor naik 7 persen.
Faktor utama tak lain dan tak bukan adalah impor minyak mentah maupun hasil minyak (BBM) yang melonjak menjadi 29,2 miliar dolar AS dari tahun sebelumnya yang mencapai 22,9 miliar dolar AS. Apabila dikompensasi dengan ekspor, maka ada kenaikan defisit menjadi 18,4 miliar dolar AS dari 12,8 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya.
Faktor lain penurunan surplus perdagangan nonmigas dari 25,3 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 11,2 miliar dolar AS pada tahun lalu. Kemudian sektor jasa yang mengalami pun mengalami defisit pada seluruh elemen, terkecuali sektor pariwisata yang positif 5,34 miliar dolar AS.
Pelajaran
Berkaca dari pengalaman CAD 2018, menurutnya sejatinya solusi untuk mengatasi masalah ini sudah disiapkan oleh pemerintah. Mulai dari sisi pengendalian impor maupun peningkatan ekspor.
Dari sisi pengendalian impor, salah satu program yang diunggulkan adalah B20 (bahan bakar diesel campuran minyak nabati 20% dan minyak bumi (petroleum diesel) 80%). Kebijakan yang mulai berlaku sejak 1 September 2018 itu diproyeksikan dapat menekan impor solar sebanyak 6 juta kiloliter pada tahun ini.
Pemerintah harus segera mempercepat penyaluran B20. Untuk itu, dibutuhkan infrastruktur penunjang yang memadai, dalam hal ini untuk menjamin pasokan bahan baku utama B20, yaitu fatty acid methyl esthers (FAME) dari para produsen. Keberadaan fasilitas penyimpanan FAME di Balikpapan (Kalimantan Timur) dan Tuban (Jawa Timur).
Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyosialisasikan urgensi penggunaan B20 kepada berbagai kalangan. Apalagi ada stigma yang berkembang bahwa B20 dapat merusak mesin kendaraan bermotor. Pemerintah dapat menggandeng agen pemegang merek (APM) untuk bersama-sama meyakinkan konsumen menggunakan B20.
Dalam pengendalian impor, tahun lalu pemerintah sudah melansir kebijakan pengenaan pajak penghasilan impor untuk 1.147 barang. Mengutip data Kementerian Keuangan pada Januari lalu, impor barang, terutama barang mewah, memang telah mengalami penurunan di atas dua digit. Sedangkan impor barang konsumsi masih naik tipis.
Ke depan, tidak ada yang salah apabila pemerintah melakukan evaluasi dan exercise perihal produk impor yang dapat dihambat melalui pengenaan PPh impor. Yang pasti, jangan sampai kebijakan itu mengganggu perekonomian dalam negeri yang masih membutuhkan impor barang modal dan barang penolong.
Kemudian untuk peningkatan ekspor, keputusan pemerintah menyederhanakan proses ekspor kendaraan bermotor CBU terhitung 1 Februari lalu memang patut diapresiasi. Sebab hal itu juga mengurai salah satu permasalahan dalam hal logistik untuk jangka pendek.
Dalam jangka menengah panjang, diversifikasi komoditas maupun pasar ekspor Indonesia merupakan keharusan. Apalagi di tengah kondisi perang dagang yang masih diliputi ketidakpastian seperti sekarang, terbuka ruang untuk mengerek ekspor ke pasar-pasar baru.
Terbukti bahwa negara-negara di kawasan Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Amerika Selatan, merupakan pasar potensial terhadap komoditas Indonesia selain komoditas macam CPO, karet, dan lain sebagainya.. Tinggal bagaimana mengoptimalkan peran kantor perwakilan dagang di luar negeri.
Di dalam negeri, Dinas Perdagangan dari level kabupaten/kota tentu telah memiliki data eksportir-eksportir potensial. Data-data itu dapat di-link and match dengan informasi dari kantor perwakilan dagang di luar negeri, terutama di negara-negara destinasi ekspor yang baru.
Last but not least adalah mendorong industri manufaktur tanah air. Kontribusi manufaktur terhadap struktur PDB nasional sekarang hanya tersisa 19,86%. Untuk meningkatkan kontribusi manufaktur, berbagai jurus harus dikeluarkan pemerintah.
Titik berat utama tentu adalah sektor manufaktur berbasis sumber daya alam, berorientasi ekspor, dan padat karya. Semua itu tentu membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang andal.
Program vokasi yang menjadi andalan pemerintah sudah baik dalam tataran konsep. Namun kendala-kendala dalam wujud kurikulum, tenaga pengajar, sampai dengan relasi dengan dunia usaha harus segera dituntaskan. Dengan demikian manufaktur tidak hanya berdampak positif bagi ekspor semata, melainkan juga perekonomian secara keseluruhan.