Mengemuka awal 2007, saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) di Cebu, Filipina, ide trayek roll on-roll off (ro-ro) Dumai—Malaka terus bergulir meskipun lambat.
Semula, para pemimpin ketiga negara menggagas Koridor Ekonomi Dumai—Malaka, satu dari lima koridor ekonomi IMT-GT Connectivity Corridor.
Gagasan itu diadopsi ke dalam Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) pada Deklarasi Hanoi Oktober 2010 yang kemudian menemukan bentuk konkretnya dalam konsep nautical highway system atau ro-ro Dumai—Malaka, bersamaan dengan rute Belawan—Penang—Phuket, dan Bitung—Davao/General Santos.
Rute Bitung—Davao/General Santos lahir duluan pada April 2017. Di bawah langit Davao City yang terik, tetapi penuh sukacita, Presiden Joko Widodo saat meresmikan rute ro-ro itu di Kudos Port, mengatakan bahwa layanan itu akan memangkas drastis waktu pengapalan barang dan penumpang dari 35 hari menjadi hanya 2,5 hari. Dia juga memuji rute tersebut sebagai simbol persahabatan dan kemitraan Indonesia-Filipina.
Rute Dumai—Malaka bakal menjadi anak kedua yang lahir. Intensitas pembahasannya meningkat setidaknya dalam 5 bulan terakhir. Nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia tentang rencana implementasi sudah akan ditandatangani dalam waktu dekat atau dalam kuartal I/2019. Kementerian Perhubungan bahkan berharap agar rute tersebut bisa beroperasi mulai kuartal IV/2019.
Selama beberapa bulan mendatang, kedua negara akan menuntaskan sejumlah masalah yang lama tertunda, seperti SOP kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan, serta aturan tentang kendaraan truk, kendaraan pribadi, dan kendaraan komersial untuk penumpang dan kargo, yang belum harmonis antara kedua negara.
Dari segi kesiapan kapal, PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) telah menyiapkan dua unit kapal feri yang disesuaikan dengan spesifikasi terminal yakni KMP Jatra I yang berbobot 3.871 GT dan KMP Jatra II yang berukuran 3.902 GT.
Tidak kalah penting dari barisan masalah di atas adalah komoditas yang akan dijual Indonesia, khususnya Dumai dan hinterland-nya, ke Malaka.
Rute Bitung—Davao/General Santos yang berakhir menyedihkan barangkali menjadi pelajaran berharga. Kapal MV Super Shuttle Roro 12 milik Asian Marine Transportation Corporation berhenti beroperasi hanya 5 bulan setelah pelayaran perdananya karena tidak tahu harus mengangkut apa. Aktivitas pengapalan lesu karena barang yang dihasilkan Sulawesi Utara maupun Mindanao relatif sama yaitu kelapa.
Tidak elok ketika ro-ro lanjutan lebih banyak membawa produk makanan dan minuman serta pakaian buatan Malaysia ke Sumatra daripada Dumai menjual makanan olahan atau produk hortikulturanya ke Malaka.
Tidak pantas pula ketika ro-ro itu justru mengangkut lebih banyak warga Dumai dan sekitarnya berwisata ke Malaka daripada penduduk Malaka melancong ke Bumi Lancang Kuning.
Komoditas potensial Dumai dan hinterland—khususnya yang lebih unggul dibandingkan dengan produk serupa Malaysia—harus dikembangkan sehilir-hilirnya. Kita tahu, Dumai dan sekitarnya mempunyai komoditas jempolan, seperti manggis, nanas, sawi daun lebar, domba, yang mulai diekspor kecil-kecilan.
Pemikiran ekonom aliran klasik David Ricardo yang sudah berumur sekitar 200 tahun barangkali masih relevan. Perdagangan internasional terjadi jika dua negara memiliki perbedaan keunggulan komparatif untuk produk spesifik. Dua negara setidaknya dapat memetik manfaat dari perdagangan jika masing-masing memproduksi barang dan jasa tertentu lebih banyak dan murah daripada negara mitranya.