Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2019 sudah memasuki bulan ke-2, Februari. Sekretaris Kementerian Negara BUMN periode 2004-2012, Said Didu, mempertanyakan belum dikeluarkannya Laporan Keuangan Kementerian BUMN. Padahal sudah menjadi tradisi sejak lama, laporan keuangan tersebut selalu diumumkan di awal tahun, tepatnya Januari di tahun berjalan.
"Biasanya sudah diumumkan di awal tahun, karena di akhir Desember sudah harus selesai. Tetapi sampai sekarang, sudah masuk Februari, belum diumumkan. Ini ada apa, apa yang terjadi?," kata Said Didu kepada Bisnis, seusai tampil sebagai pembicara diskusi terbatas di Media Center Prabowo-Sandi, akhir pekan lalu.
Dia menduga kuat sejumlah BUMN besar seperti Pertamina, PLN dan BUMN Konstruksi, memiliki masalah keuangan yang kompleks. Terutama terkait dengan beban utang yang ditanggung oleh BUMN tersebut. Sehingga untuk ditampilkan di Laporan Keuangan Kementerian BUMN, kurang baik bagi citra pemerintahan di depan publik.
Masalah beban utang menumpuk yang ditanggung oleh perusahaan BUMN, paparnya, terkait langsung dengan penugasan yang diberikan negara meski proyek yang dilaksanakan, sebenarnya tidak memberi keuntungan kepada perusahaan BUMN.
"Berdasarkan data, dalam kurun waktu 2014-2017, utang BUMN naik sebesar Rp2.000 Triliun. Sementara pendapatannya hanya naik Rp100 Triliun. Utang Pertamina naik Rp550 Triliun, utang PLN bertambah Rp530 Triliun, utang BUMN Konstruksi juga bertambah besar. Terakhir kita dengar BUMN Pupuk sedang menghadapi masalah keuangan yang krusial," katanya.
Lantaran kondisi keuangan perusahaan BUMN yang kurang menggembirakan tersebut, Said memperkirakan pengumuman Laporan Keuangan Kementerian BUMN bisa saja diundur hingga selesainya Pemilu Presiden 2019. "Semoga bisa diumumkan sebelum Pilpres".
Sebelumnya Said Didu mengatakan utang BUMN yang terus membengkak, kini menembus Rp5.271 Triliun, akibat salah kelola dan campur tangan kekuasaan. Untuk menghindari BUMN kolaps akibat beban utang yang sudah melebihi kemampuan membayar, perlu ada koreksi total pengelolaan BUMN.
Dia menunjuk contoh penugasan pemerintah terhadap BUMN, yang membuat BUMN merugi. PT Pertamina (Persero) yang harus menanggung beban akibat menjual BBM premium di bawah harga keekonomian. Pertamina pun harus menanggung nilai selisih dari harga keekonomisan.
PT PLN (Persero) yang juga terbebani keputusan pemerintah yang tidak memperbolehkan PLN menaikan tarif dasar listrik hingga tahun 2019. Sementara di pihak lain, harga BBM dan batu bara naik. Keuangan perseroan akhirnya menanggung beban berat.Walaupun belakangan pemerintah menetapkan DMO batub bara.
“Apabila ada penugasan kepada BUMN tidak ekonomis, pemerintah harusnya mengganti (dengan APBN). Nyatanya tidak, kerugian itu ditanggung oleh BUMN,” ungkapnya.
Said mengemukakan berdasarkan data Kementerian BUMN saat rapat dengan Komisi VI DPR pada 3 Desember lalu, hingga akhir September 2018, total utang BUMN Indonesia mencapai Rp 5.271 Triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 3.311 triliun disumbang dari BUMN sektor keuangan, dengan komponen terbesarnya berupa dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang mencapai 74% dari total utang.
Baca Juga
Pada acara pelantikan 27 pejabat setingkat eselon II dan III Kementerian BUMN pada 3 Januari lalu, Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan kegembiraannya atas pencapaian kinerja BUMN pada tahun 2018.
Rini menyatakan apresiasinya atas kinerja seluruh pegawai Kementerian BUMN, dimana kinerja BUMN binaan Kementerian BUMN bisa tumbuh dengan signifikan selama tahun 2018.
"Saya ucapkan beribu terima kasih kepada seluruh pegawai Kementerian BUMN, juga Direksi BUMN yang telah bekerja keras sehingga kita bisa melewati 2018 dengan baik, sehingga BUMN sekarang bisa lebih efisien, lebih kuat, dan lincah untuk menghadapi tantangan ke depan," katanya, sebagaimana dikutip dari laman Kementerian BUMN, http://www.bumn.go.id/.