Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Kementerian Perdagangan untuk menaikkan sementara harga acuan pembelian dan penjualan daging serta telur ayam berpotensi mengerek inflasi pada awal tahun ini.
Dalam Surat Edaran (SE) Menteri Perdagangan No 82/M-DAG/SD/1/2019 perihal Harga Khusus Daging Ayam Ras dan Telur Ayam Ras Periode Januari—Maret 2019, pemerintah menaikkan harga acuan pembelian di tingkat peternak dan penjualan di tingkat konsumen.
Surat edaran tersebut mulai berlaku setelah diterbitkan pada 29 Januari 2019.
Dalam SE yang diterima Bisnis tercatat, harga khusus pembelian daging dan telur ayam di peternak ditetapkan batas bawahnya senilai Rp20.000/kg dan batas atasnya Rp22.000/kg.
Sementara itu, harga acuan pembelian daging ayam ras di konsumen ditetapkan sejumlah Rp36.000/kg dan telur ayam Rp25.000/kg.
Harga khusus dalam SE itu berada di atas acuan yang tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.96/2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan Di Konsumen.
Dalam Permendag itu, harga acuan pembelian daging dan telur ayam di peternak ditetapkan batas bawahnya senilai Rp18.000/kg dan batas atasnya Rp20.000/kg. Sementara itu, harga acuan penjualan daging dan telur ayam di tingkat konsumen diatur masing-masing senilai Rp34.000/kg dan Rp23.000/kg.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan, penerbitan SE Mendag tersebut terbilang gegabah. Pasalnya, dengan menaikkan harga acuan daging dan telur ayam, daya beli masyarakat akan kian tertekan.
“Saya yakin dengan adanya kebijakan baru ini, harga dua komoditas itu akan kembali menjulang dan semakin tidak terjangkau konsumen. Sebab, pemerintah tidak mengetahui pokok permasalahan fenomena ini,” jelasnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Menurutnya, kenaikan harga daging dan telur ayam ras segar telah terjadi sejak Oktober 2018 karena mulai terbatasnya bibit ayam atau day old chicken (DOC) di tingkat peternak.
Kondisi tersebut, menurutnya, tak kalah krusial dibandingkan dengan terbatasnya pasokan jagung untuk pakan di pasaran.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan, dia khawatir akan daya beli masyarakat bakal terus tergerus. Pasalnya, berdasarkan riset Ikappi pada periode Natal 2018 dan Tahun Baru 2019 (Nataru), 25% konsumen pasar tradisional sudah mengalihkan konsumsinya dari telur dan daging ayam segar menjadi ikan, tahu, dan tempe.
Abdullah menyebutkan, berdasarkan data Ikappi, harga daging ayam ras pernah menembus Rp44.000/kg pada Desember 2018 dan sempat turun menjadi Rp35.000/kg pada Januari 2019.
Sementara itu, harga telur ayam berkisar antara Rp25.000—Rp28.000 sepanjang bulan ini.
POTENSI BAHAYA
Di sisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah juga memperingatkan potensi terjadinya inflasi pada kuartal I/2019 akibat munculnya kebijakan baru terkait dengan harga acuan telur dan daging ayam tersebut.
Pasalnya, dalam periode tersebut tekanan pada harga bahan pangan juga akan muncul dari harga beras.
“Prediksi terbaru dari petani, panen raya beras baru terjadi pada April 2019 atau mundur dari panen raya tahun lalu pada Februari—Maret. Akibatnya, harga beras akan tinggi setidaknya pada Februari—Maret. Pada saat yang sama, pemerintah mengakomodasi kenaikan harga ayam dan telur,” jelasnya.
Rusli menuturkan, salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan inflasi tersebut adalah mengamankan harga dan pasokan komoditas pangan strategis lain, seperti beras dan daging sapi.
Menurutnya, terkendalinya harga bahan pangan tersebut akan menekan lonjakan inflasi akibat tingginya harga telur dan ayam.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengungkapkan, kebijakan penaikan harga acuan daging dan telur ayam itu diambil untuk merespons keluhan para peternak yang tertekan akibat kesulitan mencari jagung pakan sejak September 2018.
“Perlu adanya penyesuaian harga [telur dan daging ayam ras] terhadap peternak, karena tekanan dari pergerakan harganya sudah terlalu tinggi. Kondisi itu terjadi salah satunya akibat harga jagung pakan yang tinggi,” jelasnya kepada Bisnis.com, Kamis (31/1/2019).
Tjahya menegaskan, kebijakan itu hanya akan berjalan sementara lantaran hanya diberlakukan hingga Maret. Dia menyebutkan, kebijakan itu disesuaikan dengan prediksi panen raya jagung Indonesia yang diperkirakan akan mulai terjadi pada Maret 2019.
Dia meyakini, dengan mulai terjadinya panen raya jagung, harga telur dan daging ayam akan berangsur-angsur turun dan terkendali. Di sisi lain, peternak tidak akan mengalami kerugian yang besar.
Sementara itu, Presiden Peternak Layer Nasional (PLN) Musbar Mesdi mengapresiasi upaya pemerintah untuk menaikkan harga acuan pembelian di peternak dan penjualan di konsumen tersebut.
Pasalnya, sebut Musbar, kendati pemerintah telah membuka kembali keran impor jagung untuk pakan sejak Desember 2018, harga komoditas pakan tersebut tetap tidak terkendali.
“Di beberapa tempat harga jagung bahkan sempat menembus Rp6.000/kg. Jauh sekali dari harga acuan yang ditetapkan pemerintah Rp3.950/kg, meskipun sudah dibuka impor jagungnya. Maka dari itu, penyesuaian harga penjualan ayam dan telur bisa menjadi solusi terbaik bagi kami para peternak,” kata dia.
Di sisi lain, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit mengatakan, pemerintah tidak boleh hanya terpaku pada kebijakan pengendalian harga jual ayam dan telur.
Sebab, ujarnya, ketersediaan dan pasokan jagung untuk pakan jauh lebih penting untuk menjaga keberlangsungan bisnis dari para peternak.
“Kemarin pemerintah sudah membuka keran impor jagung dalam jumlah yang tidak terbatas sampai Maret 2019 saja. Itu langkahnya sudah tepat, sebab selama ini pemerintah terlalu percaya diri dengan data proyeksi produksi jagung yang terbukti tidak akurat,” ujarnya.
Dia menegaskan, selama persoalan data produksi jagung tersebut tidak segera terselesaikan, kebijakan revisi harga penjualan dan pembelian daging ayam dan telur harus terus dieksekusi oleh pemerintah.