Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Urgensi Akselerasi Kendaraan Listrik

Kebijakan kendaraan listrik, yang tertuang dalam Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sudah menetapkan target penggunaan Kendaraan Listrik sebanyak 2.200 unit untuk roda 4 dan 2,1 juta untuk kendaraan roda 2, paling lambat pada 2025.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi (kiri) didampingi Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies Marwan Batubara memberi paparan dalam diskusi publik bertajuk Batu bara untuk Siapa?, di Jakarta, Rabu (21/2/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi (kiri) didampingi Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies Marwan Batubara memberi paparan dalam diskusi publik bertajuk Batu bara untuk Siapa?, di Jakarta, Rabu (21/2/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Kebijakan kendaraan listrik, yang tertuang dalam Perpres Nomor  22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sudah menetapkan target penggunaan Kendaraan Listrik sebanyak 2.200 unit untuk roda 4 dan 2,1 juta untuk kendaraan roda 2, paling lambat pada 2025.

Untuk mencapai target itu, perlu upaya akselerasi dalam pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia.

Menurut menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bahwa kendaraan listrik bukan lagi kebutuhan masa depan, melainkan untuk kebutuhan masa sekarang, sehingga cukup urgen untuk akeselarasi kendaraan listrik.

Ada beberapa argumentasi terkait urgensi percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia.

Pertama, tidak hanya negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, China, Korea Selatan, Kanada, Norwegia, Inggris Raya, Prancis, Jerman, Belanda, dan Swedia, tetapi juga negara-negara berkembang, seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand, bahkan Vietnam dan Sri Langka, sudah lebih dulu mengembangkan kendaraan listrik di negerinya.

Kalau Indonesia tidak segera mengembangkan kendaraan listrik, tidak hanya tertinggal, tetapi juga tidak bisa dihindari Indonesia akan kembali menjadi negara konsumen bagi kendaraan listrik.

Kedua, migrasi dari kendaraan bahan bakar fosil ke Kendaraan Listrik akan dapat mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), yang selalu meningkat, sehingga selama ini membebani defisit neraca migas.

Kalau kendaraan listrik tidak dapat dihadirkan di Indonesia, maka pada 2025 konsumsi BBM diperkirakan akan meningkat dari 1,3 juta barel per hari naik menjadi 2 juta barel per hari.

Peningkatan impor BBM dalam jumlah besar itu akan semakin meningkatkan defisit neraca migas, sehingga memberikan kontribusi terhadap defisit neraca pembayaran, yang berpotensi melemahkan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Ketiga, mobil yang digerakkan tenaga listrik itu termasuk energi ramah lingkungan, yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2). Penggunaan kendaraan listrik diperkirakan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga sebesar 29%.

Perpres Kendaraan Listrik

Penurunan emisi gas  sebesar itu sesuai dengan ketentuan EURO-4, yang mengisyaratkan penggunaan energi kendaraan bermotor ramah lingkungan. Kendati sangat urgen untuk akselerasi pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, namun masih ada beberapa persoalan yang mesti diselesaikan.

Salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi payung hukum pengembangan kendaraan listrik belum juga disyahkan.

Konon, Perpres itu masih menunggu hasil kajian tentang pemberian insetif fiskal, yang akan diberikan bagi industri yang akan berinvestasi di kendaraan listrik. Insentif fiskal itu perlu diberikan lantaran harga jual mobil listrik lebih mahal ketimbang mobil konvensional.

Pemberian insentif fiskal itu, di antaranya penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Penghapusan PPnBM itu dimaksudkan agar harga jual mobil listrik, tidak hanya bisa bersaing dengan harga mobil konvensional, tetapi juga harganya terjangkau bagi konsumen.

Memang, penghapusan PPnBM akan mengurangi potensi pendapatan pajak negara, tetapi penghapusan PPnBM ikut memberikan kontribusi bagi keberhasilan industri kendaraan listrik di Indonesia.

Keberhasilan itu akan memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi dan penambahan lapangan pekerjaan, yang jauh lebih penting ketimbang kehilangan potensi pendapatan dari PPnBM.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi Kementerian Keuangan untuk tidak memberikan fasilitas fiskal dengan menghapus PPnBM bagi pengembangan kendaraan kistrik di Indonesia.

Insentif di Negara Lain

Negara-negara lain juga memberikan insentif dalam pengembangan mobil listrik. China membebaskan pajak pembelian yang bernilai CNY35.000–60.000 atau sekitar US$5.000–8.500. Norwegia membebaskan konsumen mobil listrik untuk membayar pajak pembelian, dengan nilai mencapai NOK100.000 atau sekitar US$11.600.

Jepang memberikan subsidi secara progresif berdasarkan tingginya kapasitas listrik, dengan jumlah maksimum subsidi sebesar JPY850.000, setara dengan US$7.700. Belanda memberikan insentif pajak berbasis pada emisi CO2. Kendaraan listrik dengan emisi CO2 sebesar nol dibebaskan dari pajak pendaftaran mobil baru (new car registration).

Thailand bahkan mengenakan pajak kendaraan listrik hanya sebesar 10%, sedangkan kendaraan berbahan bakar fosil wajib membayar pajak sebesar 22%–50%.

 Hampir sama dengan Thailand, Sri Lanka juga mengenakan pajak untuk mobil listrik sebesar 25%, sementara pajak kendaraan konvensional dikenakan pajak mencapai 200%.

Berdasarkan penerapan insentif fiskal di negara-negara lain mengindikasikan bahwa apa yang diberikan pemerintah berkorelasi signifikan terhadap peningkatan pangsa pasar mobil listrik di negara-negara tersebut.

Dengan demikian, pemberian insentif fiskal yang akan diatur dalam Perpres diharapkan menjadi variabel penting dalam akselerasi pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, sehingga harus kajian insentif fiskal harus segera diselesaikan.

Infrastruktur

Masalah lain yang harus segera diselesaikan dalam akselerasi pengembangan mobil listrik adalah penyediaan infrastruktur pendukung untuk pengisian ulang baterai.

 PT PLN (persero), badan usaha milik negara (BUMN) di sektor ketenagalistrikan selaku penyedia bahan bakar listrik, menyatakan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian listrik umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia. Selain PLN, produsen mobil listrik juga sudah berkomitmen untuk membangun SPLU di sejumlah tempat keramaian, di antaranya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan.

Tanpa pemberian insentif fiskal dan penyediaan SPLU, jangan harap percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia dapat dicapai dalam waktu dekat ini, bahkan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan gagal dalam membangun Industri kendaraan Listrik.

Kalau Indonesia gagal dalam pengembangan Kendaraan Listrik, tidak diragukan Indonesia lagi-lagi akan menjadi negara konsumen terbesar di dunia.

Penulis adalah pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fahmy Radhi
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper