Bisnis.com, JAKARTA - Akhir pekan ini penerbangan dalam negeri di Indonesia sedang mengalami ironi. Penumpang pesawat dari Jakarta tujuan Aceh atau Medan dihadapkan pada kenyataan melonjaknya harga tiket.
Konsumen yang sensitif harga pun akhirnya membandingkan rute penerbangan lain, yang bisa menuju Aceh dan Medan dengan harga 'miring'. Hasilnya adalah, terbang dulu ke Kuala Lumpur, transit beberapa jam di Negeri Jiran itu, lalu melanjutkan penerbangan menuju Aceh atau Medan.
Penumpang dirugikan? Dari hitungan waktu sih iya. Tapi dari sisi lain, yakni peluang berjalan-jalan di negeri orang, dengan jaminan bisa hari itu juga menuju tujuan di dalam negeri, para penumpang justru diuntungkan.
Jika tidak memilih altenatif tersebut, penumpang harus merogok kocek lebih dalam, membayar tiket perjalanan dalam negeri yang lebih mahal dibandingkan tiket penerbangan dengan transit di KL terlebih dahulu.
Penerbangan dari Jakarta - Banda Aceh sejatinya hanya sekitar Rp900.000 - Rp1,2 juta di luar peak season untuk penerbangan menggunakan pesawat low cost carrier.
Namun memasuki 2019, harga tersebut melonjak tajam menjadi sekitar Rp1,9 hingga Rp3 juta untuk sekali penerbangan.
Baca Juga
Penerbangan Jakarta - Kuala Namu Sumatera Utara kini ikut terdongkrak hingga Rp1,4 untuk LCC dan mencapai Rp2,4 juta untuk kelas premium.
Namun jika melakukan penerbangan menuju Malaysia terlebih dahulu, akan terasa lebih murah.
Berdasarkan informasi harga tket di platform penyedia jasa perjalanan Traveloka, seperti ditulis Bisnis.com, Jumat (11/1/2019) harga tiket pesawat dari Bandara Internasional Soekarno Hatta ke Bandara Sultan Iskandar Muda hanya Rp600.000 lebih setelah transit di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia.
Sedangkan untuk penerbangan Jakarta - Kuala Lumpur - Kualanamu Intenasional Airport cukup merogoh Rp700.000 lebih.
Memang, pilihan penerbangan tersebut ada konsekuensi transit hampir seharian.
Tapi, waktu yang tidak sebentar itu bisa dimanfaatkannya untuk mengunjungi beberapa destinasi di Malaysia.
Menanti pesawat kembali terbang ke tujuan, penumpang yang sedang transit bisa menikmati suasana Malaysia, termasuk berkunjung ke Twin Tower,
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kondisi tersebut? Ketua Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Asnawi Bahar mengatakan tingginya harga moda transportasi udara untuk perjalanan domestik malah akan meningkatkan kunjungan wisata ke luar negeri dengan harga lebih terjangkau.
Pemerintah, kata Asnawi, harus menyelesaikan persoalan ini. Pasalnya kondisi tersebut turut mempengaruhi kualitas berwisata masyarakat seperti pengurangan durasi liburan, turunnya kelas penginapan hingga minim membelanjakan uang untuk konsumsi oleh-oleh.
"Karena saya melihat kecenderungan harga tiket di dalam negeri yang hari ini semakin mahal. Sehingga tren wisata ke luar negeri akan lebih meningkat pada 2019," katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh Amiruddin mengatakan secara tidak langsung tingginya harga tiket burung besi untuk perjalanan dalam negeri mengancam pariwisata di daerah termasuk Aceh.
Menurutnya secara pribadi, wisatawan cenderung memilih biaya rendah. Hal ini akan memberikan kerugian ke dalam negeri hingga dua kali lipat.
Pertama, biaya penerbangan akan dinikmati pesawat negara lain.
Kedua, saat transit terlebih dengan waktu lama, maka devisa akan masuk ke nagara lain.
Alhasil kata dia, pariwisata Indonesia akan terdampak, baik pada kunjungan wisatawan mancanegara atau nusantara.
"Seharusnya pemerintah sebagai regulator dalam hal ini Kemenhub dapat mengatur tarif pesawat jangan dilepas kepada pasar yang menentukan harga. Kami [Dari Banda Aceh] ke Malaysia tidak menjadi persoalan. Namun ketika bepergian dalam negeri justru menjadi hambatan harga tiket pesawat yang sangat mahal." katanya.
Tentu menjadi ironi tersendiri, jika pengguna perjalanan udara dari Jakarta ke Aceh dan Sumut atau sebaliknya harus selalu membawa paspor demi bisa singgah dan jalan-jalan di Malysia, sebelum sampai ke bandara tujuan di kota yang berada di Indonesia.