Jika industri jasa transportasi dilarang melakukan model bisnis dengan pola utang piutang, saya pikir tak mungkin muncul Singapore Airline ataupun KLM dan American Airline. Sebab siapa yang sanggup membeli pesawat senilai 50 juta dollar atau 100 juta dollar secara tunai?
Tukang ojek atau peserta Go-Jek pastilah juga punya kredit motor atau mobil yang dicicil bulanan untuk cari penumpang. Utang piutang, debet kredit sudah jadi satu fenomena ekonomi. Tanpa komponen utang piutang tak mungkin ada balance sheet dan neraca rugi laba. Ilmu Ekonomi mati.
Begitu juga jika jadi mahasiswa tak boleh makan di warung dengan kasbon alias utang dulu, mungkin banyak yang tak lulus jadi sarjana karena kelaparan dan tak sanggup bayar uang kuliah.
Dalam perjalanan saya sering kembali baca buku Ruchir Sharma berjudul “The Rise and Fall of Nations.” terutama ketika bab berjudul: “THE KISS OF DEBT yang diikuti pertanyaan Is debt growing faster or slower than the economy?”
Buku ini juga menarik dibaca karena banyak "lesson learned" yang ditampilkan. Hanya tebalnya lumayan 895 halaman. Nggak bisa ditenteng ke mana-mana, kecuali seperti saya yang disimpan dalam ipad yang selalu menyertai saya ke mana saja.
***
Dalam buku itu dikatakan, bahwa setiap krisis ekonomi melahirkan penjelasan baru.
Analisa Postmortem setelah "krisis tequila" Meksiko pada pertengahan tahun 1990-an menjelaskan bahaya utang jangka pendek, karena obligasi jangka pendek jadi biang krisis pada saat itu.
Setelah krisis keuangan Asia 1997-98, semua bicara tentang bahaya meminjam banyak uang dari bank Asing meski berbunga rendah. Karena bank asing tiba-tiba bisa saja meninggalkan arena investasi.
Bank Asing dapat saja menarik pinjaman uangnya untuk di bawa ke arena investasi di tempat lain.
Berbagai penjelasan yang ditulis dalam buku ini memperlihatkan mengapa para ahli sering mengalami kegagalan untuk melihat tanda-tanda krisis ekonomi yang muncul dari soal utang piutang dan kredit global sebelum tahun 2008.
Salah satu benang merah penelitian yang dilakukan para ahli ekonomi di masa kini telah mencoba mengaitkan krisis ekonomi dengan histori kegagalan pembayaran utang di masa Depresi Besar tahun 1930-an dan dalam beberapa kasus lainnya bahkan sampai krisis ekonomi yang dikenal sebagai fenomena "tulip mania" yang terjadi di Belanda tahun 1600-an.
Para ahli ekonomi juga mendapatkan kesimpulan lain yang menarik:
"Meskipun ukuran total utang suatu negara - yang berarti total utang pemerintah dan sektor swasta - penting bagi upaya untuk menilai prospek ekonomi suatu negara, akan tetapi sinyal paling jelas dari masalah keuangan sering datang jika kita tidak cermat dalam memantau laju kenaikan utang. Jadi bukan volume utang yang utama, yang jadi soal adalah laju pertumbuhan hutang yang harus dikelola dengan baik."
***
Ukuran besarnya utang juga penting untuk diamati. Akan tetapi kecepatan pertumbuhan utang ternyata jauh lebih penting untuk dikelola. Agar pasak tak lebih besar dari tiang.
Dengan kata lain jika gunakan analogi pesawat terbang, yang lebih utama adalah bukan berapa besar tonase beban yang diangkut melainkan berapa kecepatan pertumbuhan beban yang muncul di setiap fase ketinggian terbangnya.
Berapa besar daya dorong engine dan gaya angkat yang dihasilkan oleh kombinasi sayap, badan dan jenis propulsi-nya. Tiap struktur pesawat pasti memiliki beban maksimum tinggal landas sebagai batas gerak majunya. Tak mungkin pesawat CN235 diisi beban payloaf melebihi 6.000 kg misalnya.
Begitu juga tiap wilayah ekonomi entah itu perorangan, perusahaan ataupun negara, mempunyai batas gerak maju. Tapi tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa investasi yang dicatat dalam mekanisme utang piutang.
***
Thailand pada tahun 1997, utang swasta mencapai 165% dari PDB, namun beban utang sebesar itu tidak akan selalu melahirkan sebuah krisis jika utang tersebut tidak juga tumbuh secara signifikan lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi yang secara berkelanjutan dialami oleh negara tersebut.
Utang Thailand ketika krisis Asia telah berkembang dari sejak tahun 1980-an, namun kemudian pertumbuhan ekonominya yang berkelanjutan telah menyebabkan Thailand mampu lepas landas setelah tahun 1990.
Dalam lima tahun sebelum 1997, ekonomi Thailand tumbuh setiap tahunnya pada tingkat sekitar 10%. Pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan ini menyebabkan semua orang terlena dan membiarkan utang swasta tumbuh pada tingkat sekitar 25%.
Robert Zielinski, seorang analis bank telah melihat tanda-tanda bahwa krisis itu akan datang. Pada awal 1995, dia menulis sebuah makalah singkat yang memperingatkan bahwa banyak krisis keuangan di dunia berkembang sebelumnya telah didahului oleh kehadiran utang yang tumbuh lebih dari 20% per tahun, secara berturut turut dalam periode lima tahun.
Dan Thailand ketika itu telah berada di tengah-tengah pesta kredit semacam itu.
Menurut Zielinski ini menunjukkan bahwa pelajaran krisis yang dipicu oleh beban utang Thailand pada tahun 1997/98 bukan karena besarnya yang semakin meningkat, melainkan karena kecepatan tumbuhnya utang secara berturut turut dalam lima tahun, yang telah memicu krisis.
Jadi sinyal paling jelas dari krisis ekonomi Thailand bukanlah bahwa utang swasta mencapai 165% dari PDB pada tahun 1997, namun kenaikannya yang meningkat tajam sebesar 67% selama lima tahun berturut turut.
***
Penelitian Ruchir Sharma setelah kejutan krisis finansial global tahun 2008 memperbaiki penemuan Zelinsky ini dengan melihat catatan yang tersedia sejak tahun 1960 untuk 150 negara. Dia dan timnya mencoba mengisolasi 30 peristiwa yang terjadi akibat utang. Dalam lima tahun antara 2004 dan 2009, kredit swasta di Irlandia meningkat dengan jumlah yang mengejutkan sebesar 160% PDB.
Juga diamati kisah negara maju, mencakup Jepang akhir 1980-an dan lima negara untuk melihat lonjakan utang sebelum krisis keuangan global, termasuk Yunani, Australia, Swedia, dan Norwegia.
Di antara negara-negara berkembang, daftar paling ekstrim meliputi Uruguay dan Chile pada 1980-an, Thailand dan Malaysia pada akhir 1990-an, dan China pada belakangan ini.
Untuk ketiga puluh kasus ini, kredit swasta meningkat secara signifikan lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi selama lima tahun. Kredit swasta secara total meningkat sebagai bagian dari PDB sekurang-kurangnya 40%.
Dalam semua kasus ini, apa yang ia temui adalah proses bergiliran yang konsisten untuk terjadinya keadaan buruk setelah tahun kelima, tiap siklus tersebut. Dan itu mulai muncul ketika kenaikan kredit swasta telah mencapai ambang batas 40%.
Begitu melewati garis itu, delapan belas dari tiga puluh negara yang diamati mengalami krisis finansial dalam lima tahun setelahnya.
***
Krisis yang diamati penelitian ini melanda negara-negara mulai dari Yunani, di mana masalah dimulai hampir segera setelah kredit swasta mencapai ambang batas 40% pada tahun 2008. Thailand, yang pertama kali melewati ambang batas pada tahun 1993 dan mengalami krisis keuangan empat tahun kemudian.
Dampak negatif dari pesta kredit yang ekstrem juga akan berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Dalam ketiga puluh kasus tersebut, termasuk yang tidak menimbulkan krisis keuangan, ekonomi mengalami perlambatan tajam pada beberapa titik setelah kenaikan kredit melampaui ambang batas 40 persen.
Rata-rata untuk tiga puluh kasus, tingkat pertumbuhan PDB turun lebih dari setengah dalam lima tahun setelah ambang batas dilewati. Di Yunani, misalnya, utang swasta naik dari 69% PDB pada tahun 2003 menjadi 114% di tahun 2008, dengan kenaikan dalam lima tahun sebesar 45%.
Selama lima tahun setalah ambang batas terlewati, tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan GDP Yunani runtuh menjadi negatif 5%, turun dari 3% sebelum 2008.
Perlambatan ini terjadi ketika periode optimisme muncul setelah peminjam dan kreditor mengalami kenaikan pertumbuhan dan boom akibat investasi yang muncul dari pinjaman hingga pada batas gerak majunya. Kemudian mengalami “phase declining” dan menghadapi periode menyakitkan mengumpulkan uang satu sen demi satu sen untuk mengatasi utang dan pinjaman tersebut.
***
Hasil riset Ruchir Sarma yang dikenal dengan istilah “thirty for thirty” ini sangat jelas dan konsisten dan mengisyaratkan adanya hukum gravitasi ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan terseret jatuh oleh gaya gravitasi yang ditimbulkan oleh utang yang muncul dengan kecepatan terlalu tinggi.
Setidaknya hukum gravitasi ekonomi ini lahir berdasarkan kajian pada pola ekonomi global lima puluh tahun terakhir dari tiga puluh negara.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kredit swasta merupakan indikator penting di ujung siklus ekonomi. Jika kredit swasta tumbuh secara signifikan lebih lambat dari pertumbuhan PDB selama lima tahun, maka investasi yang dilahirkan dapat menciptakan kondisi bagi ekonomi untuk tumbuh dengan kuat.
Bank akan memiliki kemampuan membangun kembali simpanan deposito dan akan merasa nyaman untuk meminjamkan kembali. Peminjam, setelah mengurangi beban utang mereka, akan merasa nyaman meminjam lagi.
***
Karena itu, pertanyaan kritis tentang utang suatu negara bukan seberapa besar utangnya, tetapi apakah utang swasta dan pemerintah secara total tumbuh lebih cepat atau lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi selama lima tahun berturut turut? Apakah utang itu melewati ambang laju pertumbuhan 40% PDB pada periode berkelanjutan?
Sebuah negara di mana kredit swasta telah tumbuh jauh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi selama lima tahun harus ditempatkan pada pengawasan untuk dikelola secara hati hati.
Sebab mungkin saja akan lahir perlambatan tajam dalam tingkat pertumbuhan ekonomi dan mungkin juga untuk krisis keuangan, karena akan muncul pinjaman macet.
Krisis ekonomi Asia yang diawali Thailand tahun 1997/98 menggambarkan hal itu. Setelah kenaikan lima tahun kredit ke PDB mencapai ambang batas 40% pada tahun 1993, tingkat pertumbuhan PDB tahunan rata-rata Thailand runtuh dari 11% dalam lima tahun sebelum 1993 menjadi hanya 2,3% selama lima tahun setelah itu.
Meskipun demikian, kenaikan kredit di Thailand terus berlanjut sampai krisis terjadi pada tahun 1997. Kemudian bankir dan peminjam mundur. Seperti harimau yang kalah bertarung, mereka memerlukan waktu untuk menjilati luka-luka yang ditimbulkan oleh cakaran krisis yang terjadi.
Volume dan kecepatan pertumbuhan kredit turun sebagai bagian dari PDB selama lima tahun, sampai tahun 2001. Baru setelah pemulihan ekonomi yang terjadi, kemudian Thailand mulai mendapat momentum ekonominya kembali.
Tulisan ini merupakan ringkasan ulangan bacaan saya tahun lalu dan kali ini. Agar perspektif tentang utang-piutang, debet-kredit, pas pada tempatnya. Apalagi untuk kasus Indonesia, Undang-undang juga telah membatasi gerak maju volume utang yang tidak boleh melebihi 3% PDB tiap tahun. Ada ruang manuver policy yang terbatas gerak majunya. Terkelola.
*) Jusman Syafii Djamal adalah Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia, mantan Komisaris Utama Garuda Indonesia, Mantan Menteri Perhubungan