Bisnis.com, JAKARTA — Usulan pemberian pembatasan lahan maksimum dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk menangani konflik agraria dinilai tidak efektif.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga membenarkan bahwa memang saat ini pembatasan jumlah tanah maksimum dari pemerintag belum ada. Tetapi, jika ada, menurutnya tidak efektif untuk menyelesaikan konflik agraria.
"Sekarang belum ada pembatasan seseorang atau pengembang dalam memiliki luas maksimal tanah. Kalau pun nanti ada tidak akan berguna, karena bisa diakali dengan cara memecah sertifikat kepemilikan dan tetap dalam satu perusahaan atau anak perusahaan," jelasnya kepada Bisnis, Senin (7/1).
Adapun, paparan KPA terkait dengan penggusuran untuk pengadaan lahan oleh pengembang dan pembagian ganti rugi yang tidak transparan dinilai Nirwono tidak mungkin dilakukan saat ini.
"Kalau kondisi seperti sekarang, pengembang besar tidak akan melakukan hal seperti itu, karena akan merusak kredibilitas pengembang itu sendiri dan pasti akan ditinggalkam konsumen, serta akan mngundang masalah hukum, seperti indikasi pelanggaran tata ruang, korupsi perizinan," lanjutnya.
Sebelumnya, Sekjen KPA Dewi Kartika menyebutkan bahwa tingginya angka konflik agraria dari bidang properti dipicu oleh pembangunan industri properti dan real estates.
Baca Juga
"Banyak monopoli tanah oleh pihak pengembang swasta. Sektor properti menimbulkan terjadinya land banking oleh para pengembang dalam jumlah yang sangat besar, tanpa diolah dan diusahakan," paparnya dalam peluncuran catatan akhir tahun 2018 KPA di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Nihilnya pembatasan HGU tersebut dinilai Dewi menjadi ruang mengguritanya monopoli tanah oleh swasta. Padahal menurut Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, secara fisik ditelantarkan oleh perusahaan maka tanah itu harus ditertibkan dan menjadi obyek reforma agraria.