Bisnis.com, JAKARTA—Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan meminta pemerintah Indonesia untuk menempatkan pejabat setara atase pendidikan di Taiwan guna mengawasi seluruh program pendidikan termasuk pertukaran pelajar dan program kuliah-magang yang melibatkan mahasiswa Indonesia di negara tersebut.
Permintaan tersebut muncul setelah adanya dugaan penyimpangan jam kerja program kuliah-magang bernama Industrial Academia Collaboration di bawah kebijakan New Southbound Policy (NSP) yang melibatkan hingga 69 universitas dan tengah diikuti oleh ratusan mahasiswa Indonesia di Taiwan. Dari jumlah maksimal 20 jam kerja per minggu, sejumlah mahasiswa yang tengah mengikuti program tersebut diketahui bekerja hingga 30-40 jam per minggu.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan Sutarsis menyatakan, tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia—Taiwan menjadi salah satu alasan minimnya pengawasan terkait program pertukaran pelajar.
Sejauh ini, dia menyatakan tidak ada satu pun pejabat setara atase pendidikan yang bertanggung jawab terhadap program pertukaran pelajar. Padahal, jumlah mahasiswa Indonesia yang terdapat di Taiwan mencapai lebih dari 6.000 orang.
Selain itu, program kuliah-magang tersebut masih bersifat business to business antara lembaga pendidikan, dan tidak ada nota kesepahaman antar kedua negara. Menurutnya, nota kesepahaman yang diteken antar kedua negara baru berlaku untuk program pertukaran pelajar strata S2 dan S3.
“Program kuliah-magang ini belum secara formal dipayungi oleh MoU sehingga implementasi di lapangan susah diawasi. Belum ada perwakilan pejabat yang khusus mengurus ini,” ujarnya, Kamis (03/01).
Dalam pengamatannya, saat ini Pemerintah Taiwan sangat agresif merekrut mahasiswa dari negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam. Pasalnya, jumlah pelajar di negara tersebut tengah menurun akibat minimnya angka kelahiran, sehingga banyak universitas yang digabung akibat kekurangan mahasiswa.
Data Kementerian Pendidikan Taiwan menyebut, tingkat kepesertaan pendidikan tinggi di negara tersebut diprediksi menurun dari 273.000 pelajar di 2015 menjadi 158.000 pelajar pada 2028. Penyusutan ini diproyeksikan memberikan dampak yang besar pada sistem pendidikan tinggi negara tersebut, di mana 20 dari 40 universitas kecil diperkirakan terancam bubar dalam lima tahun mendatang.