Bisnis.com, JAKARTA--Kinerja ekspor Indonesia tahun ini kurang memuaskan. Turunnya harga sejumlah komoditas primer di pasar internasional, seperti minyak sawit, karet, dan batu bara menjadi salah satu penyebabnya. Pemerintah pun berupaya untuk mendorong produk manufaktur sebagai tulang punggung ekspor.
Namun, strategi menggenjot ekspor produk bernilai tambah, seperti tekstil dan produk tekstil serta produk otomotif serta komponennya itu bukannya tanpa kendala. Banyaknya hambatan dagang yang dilakukan negara tujuan harus ditangani pemerintah terlebih dahulu.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johny Darmawan berharap pemerintah memperkuat dukungannya untuk menembus pasar luar negeri terhadap produk manufaktur andalan ekspor.
“Sudah saatnya Indonesia beralih dari ketergantungan ekspor kepada produk primer ke produk bernilai tambah. Tetapi, sebelum itu, pemerintah harus siapkan dulu kebijakan pendukungnya, terutama terkait dengan pengurangan hambatan dagang,” ujarnya, Senin (24/12/2018).
Johny melanjutkan, kendati ekspornya naik sepanjang tahun ini, sejumlah hambatan masih membayangi kedua komoditas itu, sehingga pertumbuhan ekspornya tidak maksimal.
Dia mencontohkan ekspor mobil completely built up (CBU) ke Vietnam yang sempat terhambat pada paruh pertama tahun ini karena harus melalui proses uji tipe di negara itu. Akibatnya, ekspor produk tersebut sempat tersendat, sebelum akhirnya pulih kembali pada semester II/2018 pascalobi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Baca Juga
Di sisi lain, kendala juga muncul dari pasar otomotif roda empat di Timur Tengah, yang permintaannya mengalami penurunan. Hal itu terjadi akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dan konsumsi di negara-negara kawasan itu.
“Harapan kami, pemerintah bisa menjembatani dengan membentuk perjanjian dagang di negara pasar baru yang melibatkan sektor otomotif. Baru-baru ini sudah ada Indonesia-Australia CEPA (IA CEPA) yang melibatkan otomotif. Semoga langkah ini juga dilakukan di kawasan lain, seperti Amerika Tengah yang menjadi sasaran pasar ekspor baru sektor otomotif,” lanjutnya.
Senada, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, pemerintah telah beberapa kali menyebutkan bahwa TPT akan dijadikan salah satu tulang punggung ekspor Indonesia. Dia mengklaim para pelaku sektor TPT telah siap meningkatkan kapasitas produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri.
“Pemerintah beberapa kali mengajak kami untuk ikut serta dalam sejumlah perjanjian dagang internasional. Kami pikir ini langkah sangat baik, karena akan membantu mendorong ekspor kami. Harapan kami, paling tidak pada tahun depan ada satu atau dua perjanjian dagang baru yang sudah bisa diaplikasikan supaya ekspor tumbuh signifikan,” jelasnya.
Pada tahun depan, katanya, ekspor TPT diproyeksikan akan tumbuh hingga 6% atau menembus US$14 miliar secara yoy. Proyeksi pertumbuhan tersebut, menurutnya, dihitung dengan catatan apabila belum terdapat perjanjian dagang baru yang dapat diaplikasikan pada tahun depan.
“Kalau misalnya salah satu saja dari perjanjian dagang dan ekonomi dengan Jepang (IJEPA) atau Uni Eropa (IEU CEPA) dapat terlaksana pada tahun depan, kami optimistis pertumbuhan ekspornya bisa menembus 10%,” paparnya.
Pasalnya, lanjut Ade, kawasan Eropa dan Jepang menjadi pasar ekspor utama produk TPT Indonesia selain Amerika Serikat (AS). Terlebih, khusus untuk pasar tekstil Eropa, produk Indonesia saat ini masih kalah bersaing dengan produk dari Vietnam dan Bangladesh. Sebab, kedua negara itu telah lebih dulu menjalin pakta kerja sama dagang bebas dan komprehensif dengan Uni Eropa.
Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah merevisi kebijakannya dalam menerapkan bea masuk untuk bahan baku penolong TPT seperti serat polyester. Berdasarkan data yang dimilikinya, bea masuk polyester berada pada level 5,82%-28,47%. Tingginya bea masuk komoditas itu membuat harga produk TPT asal Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan Bangladesh di pasar global.