Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah membuka keran ekspor bijih mineral mentah, yaitu bijih nikel dan bauksit, sejak awal 2017. Namun, realisasi pengapalan kedua jenis bijih mineral itu selalu di bawah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
Hal itu disebabkan, ekspor bijih nikel dan bauksit harus sesuai dengan progres pembangunan smelter oleh perusahaan yang akan mengapalkan nikel dan bauksit ke luar negeri.
Sejak awal 2017, pemerintah membuka keran ekspor dua jenis mineral mentah, yaitu bijih nikel dan bauksit. Namun, pemerintah memberikan syarat bagi perusahaan yang mendapatkan kuota ekspor kedua mineral mentah itu untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral, Ditjen Mineral Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yunus Saefulhak mengatakan bahwa kuota ekspor bijih nikel dan bauksit selalu lebih besar dari realisasi pengapalan ke luar negeri.
Dia menambahkan, pada praktiknya, kemampuan perusahaan yang mendapatkan kuota ekspor bijih mineral mentah tidak terlalu besar.
Menurutnya, penurunan realisasi ekspor mineral memang berdampak pada berkurangnya devisa negara. Namun, di sisi lain, kata dia, hal itu justru harus dilihat dengan positif karena dari sisi pasokan dalam negeri akan bertambah dan berpotensi untuk lebih banyak menghasilkan produk bernilai tambah ketika kewajiban pembangunan smelter terlaksana.
Yunus menyebutkan, berdasarkan data yang direkapitulasi hingga November 2018, pemerintah memberikan surat persetujuan ekspor (SPE) untuk nikel sebanyak 47 juta ton, tetapi baru terealisasi 34% atau setara dengan 16 juta ton.
Kondisi yang sama berlaku untuk bijih bauksit. SPE bijih bauksit sebanyak 18 juta ton, tetapi baru terealisasi 30% atau 6 juta ton.
“Jadi, memang berdasarkan kemampuan produksi perusahaan itu sendiri. Mungkin faktor lainnya, terutama cuaca iya, tetapi juga penyerapan pasarnya apakah menerima juga [ekspor bijih nikel dan bauksit dari Indonesia],” katanya, akhir pekan lalu.
Selain bauksit dan nikel, Kementerian ESDM, sebut dia, juga menerbitkan SPE untuk konsentrat besi dan mangan, serta konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral. Adapun untuk konsentrat Freeport masih menunjukkan pergerakan dengan realisasi 800 juta ton dari rencana yang berakhir pada Februari 2019 sekitar 1,2 juta ton.