Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution telah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi XVI pada pertengahan November 2018 lalu.
Paket Kebijakan Ekonomi XVI memiliki tiga kebijakan, yaitu memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday) untuk mendorong investasi langsung industri perintis dari hulu hingga hilir.
Kemudian merelaksasi daftar negatif investasi (DNI) demi mendorong aktivitas ekonomi pada sektor-sektor unggulan dan pengendalian devisa berupa kewajiban memasukkan devisa hasil ekspor dari ekspor barang-barang hasil sumber daya alam.
Kebijakan terbaru itu menuai respons positif maupun negatif dari berbagai kalangan. Tanggapan positif hadir lantaran pemerintah dinilai telah merespons ketidakpastian ekonomi global dengan rangkaian kebijakan yang tepat. Sedangkan tanggapan negatif hadir berkenaan dengan revisi DNI yang dinilai kebablasan.
Salah satu sektor yang dianggap akan berdampak pada relaksasi DNI itu, menurut founder Indosterling William Henley adalah UMKM yang mrupakan motor utama perekonomian Indonesia karena berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60,34%. Tetapi, kontribusi UMKM Indonesia di ASEAN pada 2015 hanya 15%.
Dia mengatakan dukungan untuk UMKM tentu bertambah dengan revisi DNI.
Revisi DNI yang salah satunya menyasar sektor UMKM, menurutnya, dapat menjadi momentum untuk membawa UMKM dalam negeri ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab, ada perbaikan dari regulasi dan birokrasi. Harapan agar UMKM Indonesia berjaya tentu bukanlah pepesan kosong jika kebijakan demi kebijakan dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Hal tersebut mengacu pada kebijakan relaksasi DNI tahun ini, yaitu mengeluarkan 54 bidang usaha dari daftar tersebut.
Itu artinya, ke-54 bidang usaha itu lebih terbuka untuk investasi UMKM, PMDN, dan PMA. Dari 54 bidang usaha yang dipersepsikan semua terbuka untuk PMA 100%, dibagi ke dalam 5 kelompok.
Di tiap kelompok, ada sejumlah bidang usaha yang dikeluarkan dari kelompok dicadangkan untuk UMKM, dikeluarkan dari persyaratan kemitraan, dan dikeluarkan dari persyaratan PMDN 100%.
Terkait kemitraan, selama ini batasan dan definisi kurang jelas dan tidak terukur. Untuk itu, pemerintah memutuskan tetap mempertahankan kemitraan untuk sektor pertanian, yaitu menyediakan lahan seluas 20% untuk usaha mikro kecil (UMK). Sedangkan untuk bidang usaha nonpertanian, kemitraan diubah menjadi dicadangkan untuk UMKM dan koperasi.
Serangkaian kebijakan untuk UMKM dalam revisi DNI memang belum memiliki dasar hukum. Pemerintah berjanji pada pekan ketiga November 2018, dasar hukum dalam bentuk revisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 bakal tuntas.
"Namun, revisi itu barulah awal. Perjalanan selanjutnya masih panjang dan berliku sebelum kebijakan itu dirasakan UMKM Tanah Air. Oleh karena itu, akselerasi selepas revisi pepres terbit wajib hukumnya," ujarnya.
Kemudian, katanya, kemajuan UMKM tidak dapat dilepaskan dari kemitraan sebagai tercantum dalam revisi DNI. Tidak terkecuali dengan asing. Oleh karena itu, keberadaan investasi asing untuk UMKM jangan sampai menjadi senjata makan tuan. Dalam artian UMKM Indonesia dirugikan.
Justru sebaliknya. Harus ada transfer pengetahuan agar pelaku usaha Indonesia pun naik kelas. Tak hanya di tingkat dalam negeri, melainkan juga di level ASEAN. Apalagi ditambah fakta bahwa porsi UMKM Indonesia di ASEAN masih kalah dibanding Thailand maupun Malaysia.
Bank Dunia pun telah mengingatkan bahwa ada empat masalah penting dalam UMKM Indonesia. Keempat masalah itu, yakni tidak ada akses pembiayaan, peluang usaha, kapasitas dan kelembagaan serta regulasi dan birokrasi.