Bisnis.com, JAKARTA – Pencabutan kain printing dan rajut dari daftar negatif investasi (DNI) dinilai mampu memulihkan titik lemah mata rantai industri tekstil, yakni teknologi. Di sisi lain, dibukanya investasi di sektor padat karya harus disertai kehati-hatian.
Menteri Perindutsrian Airlangga Hartarto menjelaskan kain printing dan rajut resmi dicabut dari daftar DNI bersama beberapa komoditas lain, seperti karet remahan (crumb rubber), kayu, dan minyak.
Pencabutan yang dijelaskan Airlangga tersebut merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang disampaikan pemerintah di Istana Kepresidenan pada Jumat (16/11/2018).
Pencabutan tersebut dinilai Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sebagai langkah positif yang dapat mengatasi permasalahan industri tekstil.
Masuknya investor asing, menurut Ade, dapat mendorong perkembangan teknologi industri tekstil yang sudah tua sehingga memakan biaya besar dengan efisiensi yang rendah.
Ade menjelaskan teknologi digital printing merupakan bentuk revolusi industri tekstil yang kini semakin berkembang. Dia mencontohkan perkembangan teknologi lain terjadi pada mesin celup warna, yang sebelumnya memerlukan 10 liter air untuk mengolah 1 kg kain kini hanya memerlukan 5 liter.
Teknologi tersebut dapat mengurangi biaya energi dan waktu pencelupan. Efisiensi tersebut dapat mendorong produktivitas industri tekstil.
“Bagus saja tadinya [masuk daftar] negatif, sekarang jadi positif. Itu [teknologi] titik lemah mata rantai industri kita. Revolusi industrinya sudah digital printing, [teknologi] yang lama sudah banyak ditinggalkan. Kalau [sektor] itu masih negative list keterlaluan Indonesia,” ujar Ade kepada Bisnis.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah API pada November 2018 menunjukkan volume produksi industri tekstil terus menurun.
Jumlah volume produksi pada 2013 mencapai 7,5 juta ton, jumlahnya terus menurun pada 2014 menjadi 7 juta ton, pada 2015 menjadi 6,3 juta ton, dan pada 2016 menjadi 6 juta ton. Data sementara pada 2017 mencatatkan sedikit kenaikan menjadi 6,2 juta ton.
Volume penjualan industri lokal ke pasar domestik pun mencatatkan penurunan, hal tersebut dibarengi dengan permintaan pasar domestik yang trennya menurun.
Volume penjualan ke pasar domestik pada 2013 mencapai 5,4 juta ton. Jumlah tersebut menurun pada 2014 menjadi 4,7 juta ton dan terus menurun, pada 2015 menjadi 4 juta ton dan pada 2016 menjadi 3,8 juta ton. Jumlahnya sedikit meningkat dalam data sementara 2017 yakni 4 juta ton.
Permintaan pasar domestik yang terdiri dari pasokan industri lokal serta produk impor pada 2013 tercatat sebesar 7,3 juta ton. Jumlahnya terus menurun pada 2014 menjadi 6,8 juta ton, pada 2015 dan 2016 menjadi 6 juta ton. Jumlahnya sedikit meningkat dalam data sementara 2017 menjadi 6,3 juta ton.
Dalam kondisi produksi dan permintaan domestik yang cenderung menurun, volume ekspor tidak mencatatkan pergerakan signifikan. Pada 2013 volume ekspor mencapai 2,1 juta ton, jumlahnya meningkat tipis pada 2014 dan 2015 menjadi ‘hanya’ 2,3 juta ton. Jumlah tersebut menurun tipis pada 2016 dan 2017 (data sementara) menjadi 2,2 juta ton.
Dia menjelaskan industri tekstil kini tidak mempunyai daya saing karena biaya produksi dan rantai distribusi yang tinggi. Perkembangan teknologi yang terlalu cepat pun menurut Ade gagal diikuti industri tekstil dalam negeri. “Perlu direstrukturisasi,” ujar Ade.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengutarakan tekstil memiliki prospek yang baik dalam jangka panjang, tetapi kurang baik dalam jangka pendek. Pasar tekstil di Amerika Serikat yang saat ini meningkat menurutnya dapat menjadi peluang, meski pasar Eropa dan beberapa negara Asia masih lemah.
Prospek dalam negeri, menurut Bhima, masih terkendala oleh konsumsi dalam negeri yang pertumbuhannya masih berkisar 4,9-5%.
Hal tersebut membuat dibukanya investasi asing harus membuat sektor tekstil berorientasi ekspor. Untuk mengejar peningkatan ekspor tersebut investor dinilai harus fokus dalam pengembangan teknologi dan kualitas.
“Gandeng produsen lokal manufaktur yang sudah eksisting. Tekstil banyak [yang masih menggunakan] teknologi tua. Investor jangan cuma masuk bikin pabrik baru, peningkatan kualitas,” ujar Bhima kepada Bisnis.
Dia menjelaskan kondisi saat ini realisasi investasi di bidang manufaktur terhadap total investasi tidak lagi terlalu besar karena pergeseran investasi ke sektor jasa. Dengan masuknya investasi asing, menurut Bhima, justru dapat memicu persaingan dalam negeri yang lebih sehat.
Pernyataan itu sejalan dengan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatatkan penurunan investasi industri tekstil.
Pada 2012, tercatat investasi di sektor tersebut mencapai Rp7,45 triliun, jumlahnya meningkat pada 2013 menjadi Rp8,32 triliun. Namun, jumlah tersebut terus merosot pada tahun-tahun setelahnya, pada 2014 jumlahnya menurun drastis jadi Rp4,63 triliun.
Investasi sedikit bergairah pada 2015 dengan capaian Rp6,6 triliun, tetapi jumlahnya kembali menurun pada 2016 menjadi ‘hanya’ Rp4,92 triliun.
Bhima pun menjelaskan pemerintah perlu berhati-hati terhadap investasi asing yang masuk di sektor padat karya. Tantangan muncul saat terjadi kenaikan upah karena terdapat potensi relokasi. “Syukur relokasinya di Jawa Barat atau Jawa Tengah, kalau ke luar, Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, kita lost competitiveness,” ujar Bhima.