Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral di Asean Masih Akan Naikkan Suku Bunga Setelah Jeda

Kenaikan suku bunga masih menjadi pilihan bagi bank sentral di Asia ketika terjadi volatilitas di pasar keuangan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (dari kiri) bersama President and CEO The Federal Reserve Bank of New York John Williams dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat mengikuti acara Central Banking Forum 2018, di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018)./JIBI-Abdullah Azzam
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (dari kiri) bersama President and CEO The Federal Reserve Bank of New York John Williams dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat mengikuti acara Central Banking Forum 2018, di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan suku bunga masih menjadi pilihan bagi bank sentral di Asia ketika terjadi volatilitas di pasar keuangan.

Terbaru, Bank Sentral Sri Lanka secara tidak terduga menaikkan tingkat biaya pinjamannya menjadi 9,0% dari 8,5% setelah Rapat Kebijakan yang berakhir Rabu (14/11/2018).

Hampir setengah dari ekonom yang disurvei Bloomberg pun memperkirakan kenaikan suku bunga itu akan disusul oleh Bank Sentral Filipina pada Kamis (15/11/2018).

Sementara itu, Bank Sentral Thailand dan Bank Indonesia justru diperkirakan bakal menahan suku bunganya mengikuti langkah yang diambil oleh Bank Sentral Malaysia pekan lalu. Adapun setelah jeda singkat yang membantu pemulihan mata uang di kawasan Asean baru-baru ini, diperkirakan volatilitas akan kembali ke pasar negara berkembang (emerging market) seiring dengan pengetatan moneter yang dilakukan oleh AS.

Bank Sentral AS (Federal Reserve) diperkirakan bakal terus mengerek suku bunga acuannya pada Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Desember.

“Sumber fundamental dari tekanan masih ada dan masih ada pula peluang bagi bank sentral untuk mengambil langkah pertahanan,” kata Eugenia Victorino, Head of Asia Strategy di Skandinaviska Enskilda Banken AB, Singapura, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (14/11/2018).

Victorino menjelaskan, dampak dari The Fed yang tetap menaikkan suku bunga dan menguatnya dolar AS masih belum hilang sepenuhnya. 

Menurutnya, negara-negara yang memiliki defisit neraca berjalan seperti Indonesia, Filipina, dan India pun menjadi yang paling rentan terhadap guncangan di pasar keuangan.

Adapun Bank of Thailand telah membiarkan suku bunganya tidak berubah di level 1,5% sejak 2015 dalam rapat kebijakan baru-baru ini. Namun demikian, para pembuat kebijakan menyampaikan bahwa bank sentral aan mengurangi kebutuhan kebijakan moneter yang akomodatif dalam laju gradual kendati perekonomian mulai menghadapi masalah seperti berkurangnya ekpor dan melemahnya sektor manufaktur.

“Kenaikan sebesar 25 bps masih menjadi pertimbangan pada bulan depan dengan nada yang lebih hawkish daripada pertemuan kali ini,” kata Tim Leelahaphan, Ekonom di Standard Chartered Bank, Bangkok.

Sementara itu, upaya Bank Indonesia untuk mestabilkan mata uang dengan mengerek suku bunga sebesar 150 bps sejak Mei kini mulai membuahkan hasil.
Rupiah berhasil menguat 3% terhadap dolar AS pada bulan lalu dan menjadikan rupiah sebagai mata uang berperforma terbaik di Asia.

Selain itu, tingkat inflasi Indonesia juga masih terjaga di 3,16% pada Oktober dan sesuai dengan kisaran target yang ditetapkan bank sentral sebesar 2,5%—4,5%.

Namun demikian, Indonesia dinilai belum bebas sepenuhnya dari tekanan eksternal karena defisit neraca berjalan masih membuat Indonesia rentan terhadap arus modal keluar. Untuk itu, ekonom memperkirakan BI akan terus menaikkan suku bunga ke depannya.

“Tentu saja ini jeda sementara. Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga bersama The Fed,” kata Mohamed Faiz Nagutha, ekonom di Bank of America Merrill Lynch dan memperkirakan suku bunga acuan BI akan mencapai 6% pada akhir tahun ini.

Begitu pula dengan Filipina, sebanyak 11 dari 19 ekonom memperkirakan Bank Sentral Filipina akan menaikkan suku bunga menjadi 4,75% pada Kamis (15/11/2018).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper