Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rencana Revisi DNI: Waspada Dampak Negatifnya ke Industri Domestik

Pemerintah harus mewaspadai potensi kerugian yang ditimbulkan dari rencana revisi daftar negatif investasi (DNI) yang akan dieksekusi dalam waktu dekat.
Industri farmasi/indianmirror
Industri farmasi/indianmirror

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah harus mewaspadai potensi kerugian yang ditimbulkan dari rencana revisi daftar negatif investasi (DNI) yang akan dieksekusi dalam waktu dekat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus berhati-hati ketika membuka pintu yang lebih besar bagi investor asing di sektor-sektor yang selama ini dilindungi melalui DNI. Pasalnya, kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak negatif lebih besar bagi Indonesia.

“Contoh sektor farmasi di bidang obat-obatan jadi. Selama ini bahan bakunya 90% impor. Ketika sektor ini dibuka penuh ke asing dan masalah di hulu mengenai pasokan bahan baku dari impor tidak diselesaikan, maka kita akan dihadapkan pada lonjakan impor yang lebih besar lagi,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (12/11/2018).

Faisal menambahkan, kondisi tersebut akan membuat permasalahan baru berupa makin defisitnya neraca perdagangan Indonesia.

Selain itu, dia juga menyarankan adanya prinsip kehati-hatian dalam membuka investasi di sektor rumah sakit. Di sektor tersebut, dia berharap pembukaan investasi 100% kepada asing, hanya dilakukan pada rumah sakit kelas atas. Pasalnya, apabila investasi dibuka sepenuhnya terhadap sektor layanan kesehatan dasar, maka akan membuat rata-rata biaya layanan di sektor tersebut meningkat.

Dia khawatir, apabila kebijakan itu dilakukan maka akan membuat upaya pemerintah meratakan akses layanan kesehatan dasar ke masyarakat menengah bawah menjadi terganggu. Kekhawatiran serupa pun terjadi di sektor pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi.

“Maka dari itu, perlu dilihat apakah persoalan seretnya investasi asing masuk ini disebabkan oleh banyaknya sektor yang masuk DNI atau justru dari faktor lain seperti tingginya ketidakpastian hukum dan kebijakan di dalam negeri,” katanya.

Terpisah, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto mengatakan, dia meminta agar revisi DNI tidak dilakukan di sektor obat-obatan jadi. Pasalnya, saat ini investasi domestik sektor tersebut sedang berkembang. Hanya saja perkembangannya terhambat oleh tingginya harga pasokan bahan baku yang mayoritas diimpor.

“Saya berharap, di sektor hulu yakni penyedian bahan baku yang dimaksimalkan, tidak lagi harus perizinan Kemenkes. Lalu diberikan pula insentif lain berupa pajak yang murah. Karena persoalan farmasi ini ada di pasokan bahan baku,” ujarnya.

Menurutnya, dengan dibuka 100% akses investor asing di sektor obat-obatan jadi, membuat pengusaha domestik tergerus, lantaran kalah dalam hal permodalan. Di sisi lain, tanpa dibangunnya sektor hulu, maka importasi justru akan meningkat seiring meningkatnya investasi di sektor produk obat-obatan jadi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo berharap investasi asing di sektor pengolahan ikan tetap menggandeng mitra lokal. Dia bahkan meminta agar investor asing di sektor pengolahan diperketat kembali aksesnya, terutama di Indonesia bagian barat.

“Kami inginya di Indonesia bagian barat ditutup aksesnya bagi asing, sebab sudah terlalu banyak pemainnya. Pembukaan 100% asing tanpa persayaratan sebaiknya justru dilakukan di Indonesia bagian timur yang masih belum tergarap,” katanya.

Dia menyebutkan, di Indonesia bagian barat, utilitas pabrik pengolahan ikan dan produk kelautan stagnan di level 50% sejak 2016. Hal itu disebabkan karena sulitnya para pengusaha mendapatkan bahan baku. Untuk itu dia menyarankan agar pembukaan akses asing dilakukan di sektor perikanan tangkap.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi  Djatmiko mengatakan, pembukaan investasi asing pada sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi belum perlu dilakukan.

Pasalnya, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi masih berkisar 30% selama ini. Kebijakan tersebut nantinya akan membuat persaingan perebutan calon mahasiswa menjadi semakin ketat.

“Jelas kebijakan ini nanti akan membunuh perguruan tinggi yang sudah ada. Lebih baik pemerintah saat ini fokus untuk mempercepat proses merger perguruan tinggi swasta dulu dan peningkatan kualitas perguruan tinggi nasional,” katanya.

Menanggapi fakta tersebut, Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, proses pembahasan mengenai sektor yang akan dikeluarkan dari DNI masih berlangsung. Dia menyatakan, proses pembahasan selama ini juga melibatkan masukan dari dunia usaha.

“Pembahasannya sudah cukup panjang, dalam pembahasannya pun kami sudah melibatkan dunia usaha melalui kementerian terkait. Meskipun demikian kami akan tetap bersikap hati-hati dalam menetapkan revisi DNI ini dan akan terus mendengar  masukan dari berbagai pihak,” ujarnya.

Dia menambahkan, selain membuka akses DNI di sektor-sektor baru, pemerintah juga akan menelurkan kebijakan baru untuk memaksimalkan minat asing di sektor-sektor yang telah lama dikeluarkan dari DNI.

PERMUDAH NEGOSIASI

Sementara itu, pemerintah menyatakan, revisi daftar negatif investasi (DNI) akan menjadi salah satu cara untuk mempermudah proses negosiasi dagang dan ekonomi yang dijalin oleh Indonesia.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Oke Nurwan) mengatakan, revisi DNI tersebut pada dsarnya dilakukan untuk mempermudah arus investasi masuk. Di sisi lain, kebijakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mempermudah Indonesia dalam menciptakan pakta kerja sama dagang dan ekonomi dengan negara mitra.

“Salah satunya ke arah itu [mempermudah proses negosiasi dagang dan ekonomi]. Selama ini kita kesulitan menjalin kerja sama ekonomi karena ada beberapa sektor yang ditutup untuk investasi asing. Nanti bakal menjadi insentif yang baik juga untuk Indonesia,” katanya, kepada Bisnis.

Hanya saja, Oke belum dapat menyebutkan sektor apa saja yang akan dikeluarkan dari DNI. Pasalnya, saat ini pembahasan masih terus dilakukan, sektor mana saja yang akan dikeluarkan dan kembali dimasukkan dari daftar tersebut. Pemerintah, lanjutnya, menargetkan akan merilis revisi DNI tesebut setidaknya pada pekan depan.

Adapun, Susiwijono menyebutkan revisi DNI yang ditempuh pemerintah saat ini meliputi sektor pendidikan, kesehatan, komunikasi dan informatika, dan perdagangan. Dia juga mengamini bahwa kebijakan tersebut akan mempermudah upaya pemerintah menjalin kerja sama dagang dan ekonomi dengan negara-negara mitra.

“Dengan adanya revisi DNI, cakupan kerja samanya bisa menjadi lebih luas,” jelasnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, salah satu sektor yang hampir pasti akan dikeluarkan dari daftar DNI adalah distributor yang tidak terafiliasi produksi. Pasalnya, selama ini bentuk usaha sektor tersebut memang tidak melibatkan

“Sektor itu akan dibuka 100% nanti. Tetapi yang dibuka nanti hanya usaha di bidang distributor saja, bukan ritel,” ujar dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W. Kamdani mengatakan, sektor pendidikan dan kesehatan menjadi salah satu perhatian pengusaha agar dapat dikeluarkan dari DNI oleh pemerintah. Pasalnya, minat investasi melalui kerja sama dagang dan ekonomi oleh negara mitra, cukup banyak di sektor tersebut.

“Selama ini, sektor pendidikan dan kesehatan cukup diminati negara mitra, seperti ketika kita menjalin negosiasi Indonesia-Australia CEPA (IA-CEPA) kemarin. Kita butuh investasi di dua sektor itu, tetapi masih masuk di DNI, maka pembahasannya agak alot kemarin,” katanya.

Shinta melanjutkan, ke depannya, apabila sektor pendidikan dan kesehatan dibuka, maka akan membuat proses negosiasi kerja sama dagang dan ekonomi menjadi lebih mudah. Menurutnya, minat tersebut saat ini salah satunya datang dari beberapa negara Uni Eropa.

Hal itu. lanjutnya,  akan membuat kedua negara mempercepat penyelesaian negosiasi Indonesia-Uni Eropa CEPA (IEU-CEPA) yang ditargetkan tercapai pada tahun depan. 

 

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper