Bisnis.com, JAKARTA -- Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyoroti tidak transparannya kegiatan survei kondisi peti kemas di lapangan penumpukan atau container yard (CY) terminal peti kemas pelabuhan dan di fasilitas depo peti kemas empty eks impor.
Ketua Badan Pengurus Daerah GINSI DKI Jakarta Subandi mengatakan surveyi kondisi peti kemas eks impor yang dilakukan di depo maupun di CY tidak melibatkan surveyor independen sehingga berpotensi mengalihkan tanggung jawab jika terjadi kerusakan.
“Akibatnya berpotensi terjadi pengalihan tanggung jawab kepada importir atas biaya perbaikan peti kemas eks impor yang tidak terukur," ujarnya saat sosialisasi dan coaching clinic Online Single Submission (OSS) di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Acara coaching clinic tersebut dihadiri ratusan perusahaan importir anggota GINSI, stakeholder terkait di Pelabuhan Tanjung Priok serta asosiasi penyedia dan pengguna jasa pelabuhan, dan manajemen terminal peti kemas ekspor impor di pelabuhan.
Subandi menjelaskan biaya logistik yang tinggi merupakan penyebab utama tingginya harga barang yang berdampak langsung terhadap penurunan daya beli konsumen sekaligus menghambat laju perekonomian nasional.
“Transparansi proses survei kondisi peti kemas eks impor itu sebagai barometer dalam upaya menekan biaya logistik kepelabuhanan," ucapnya.
Menurutnya, salah satu komponen biaya logistik impor yang kurang mendapat sorotan adalah biaya yang ditimbulkan oleh klaim atas kerusakan peti kemas eks impor, termasuk washing dan cleaning peti kemas di depo empty.