Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana mengembangkan klasterisasi budi daya perikanan berbasis komoditas unggulan daerah demi mengantisipasi kenaikan konsumsi domestik setidaknya dalam dua tahun mendatang.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KKP) Sjarief Widjaja mengatakan bahwa tahun lalu dengan estimasi jumlah penduduk sekitar 263 juta jiwa dan konsumsi ikan per kapita mencapai 43 kilogram per tahun, kebutuhan produksi perikanan Indonesia mencapai sedikitnya 11, 309 juta ton pertahun.
Tahun ini, dengan estimasi jumlah penduduk yang sama dan target konsumsi per kapita yang diharapkan bisa mencapai 47 kilogram per tahun, kebutuhan ikan dalam negeri akan mencapai 12, 361 juta ton.
Pada 2019, dengan target konsumsi ikan 54 kilogram per kapita per tahun, maka total kebutuhan konsumsi ikan segar dalam negeri akan mencapai 14,202 juta ton per tahun.
“Hal ini, belum mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lain seperti industri perikanan hilir,” katanya dalam konferensi pers di sela-sela Seminar Nasional Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2018, Senin (24/9/2018).
Salah satu program yang telah diimplementasikan adalah pengembang biakan rajungan di Demak (Jawa Tengah), Lampung Timur, dan Kendari (Sulawesi Utara). Menurut Sjarief, para nelayan di daerah-daerah tersebut dikenalkan dengan cara pengelolaan rajungan berkelanjutan.
Nelayan di daerah tersebut dikenalkan dengan model atau siklus hidup rajungan. Selain itu, mereka pun dibimbing untuk memetakan daerah pemijahan (pelepasan telur dan sperma untuk pengembangbiakan), daerah produksi, daerah no take zone (dimana pemanenan atau penangkapan tidak diperbolehkan) serta waktu yang tepat untuk melakukan pemanenan atau penangkapan rajungan.
"Yang tadinya mereka menangkap rajungan seperti apa adanya, apa maunya mereka tetapi dengan pengaturan-pengaturan itu akhirnya kita menghindari penangkapan rajungan bertelur, misalnya. Mereka sadar akhirnya, kalau yang bertelur ditangkap semuanya ya lama lam habis. Jadi mulai ditata," jelas Sjarief.
Selain diajarkan untuk mengatur masa dan cara produksi rajungan segar untuk dikonsumsi, nelayan juga diajarkan untuk mengolah rajungan menjadi produk bernilai tambah.
Metode yang sama juga telah dilakukan di Ciseeng, Bogor. Ciseeng diketahui menjadi salah satu daerah penghasil ikan gabus.
Namun, selain untuk kebutuhan konsumsi dalam bentuk ikan segar, gabus juga diketahui menyimpan albumin, sejenis protein yang salah satu fungsinya adalah membentuk jaringan sel baru dan kerap kali dibutuhkan pasca pembedahan ataupun penyembuhan luka bakar.
Untuk itu, selain mengenalkan proses budi daya gabus mulai dari mengembangkan hatchery, pendederan, pembesaran, untuk mendoring produksi gabus serta penyalurannya sebagai salah satu komoditas kuliner, masyarakat juga diajal untuk ikut masuk ke industri ekstraksi albumin dari ikan gabus.
Sjarief menargetkan pihaknya meluncurkan sedikitnya 120 penelitian siap implementasi dalam satu tahun ke depan yang dimulai pada September tahun ini terkait dengan klasterisasi ini.
Untuk memberi kepastian bagi komunitas nelayan dan pemain terkait lainnya, pihaknya juga akan mendorong agar pemerintah-pemerintah daerah bisa menelurkan peraturan daerah (Perda) yang mendukung program ini seperti yang sudah dilakukan di Demak dan Ciseeng.
Dengan adanya perda ini sebagai payung perlindungan usaha para komunitas nelayan, diharapkan selanjutnya pemerintah juga bisa ikut terlibat langsung dalam mendukung pengembangan produksi dan industri berbasis klaster ini. "Perlindungan dalam bentuk perda itu membantu mereka memastikan bisnis dia akan sustain," jelasnya.