Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Hermanta mengatakan, instansinya akan mendorong pihak Syahbandar di pelabuhan Priok untuk melakukan penindakan atas pelanggaran kelaikan kontainer.
"Untuk di Pelabuhan Priok, kami akan instruksikan dan bekerja sama dengan kantor Syahbandar Priok dalam menangani peti kemas yang enggak laik di pelabuhan," ujarnya kepada Bisnis di sela-sela menerima kunjungan pengurus Kadin Manggarai Barat dan Pelabuhan Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur (NTT), di terminal Nusantara pelabuhan Priok, Senin (24/9/2018).
Hermanta mengatakan OP Tanjung Priok berkomitmen menjalankan semua aturan yang sudah diterbitkan Kemenhub, termasuk yang menyangkut pengawasan kelaikan kontainer. "Terkait dengan pengawasan dan penindakan itu domainnya PPNS dalam hal ini Syahbandar," tuturnya.
Sementara itu, Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) menyatakan Kementerian Perhubungan agar menyiapkan aturan petunjuk tehnis dan pelaksana kegiatan inspeksi kelaikan kontainer/peti kemas serta verifikasi berat kotor peti kemas atau verification gross mass (VGM).
Ketua Umum AKKMI, Capt. Sato M.Bisri, mengatakan, juknis dan juklak inspeksi kontainer merupakan aturan turunan pasca Permenhub No:53/2018 tentang Kelaikan Kontainer dan Berat Kotor Peti Kemas Terverifikasi yang terbit pada 7 Juni 2018.
“Supaya tidak simpang siur implementasinya, beleid itu perlu juklak dan juknisnya (petunjuk pelaksana dan tehnis). Selain itu Kemenhub supaya lebih intensif menyosialisasikan PM 53/2018 sebelum implementasi pada awal 2019,” ujarnya.
Baca Juga
Sato yang merupakan mantan Kepala Administrator Pelabuhan Tanjung Priok itu mengatakan, AKKMI saat ini mewadahi ratusan profesional aktif dibidang keselamatan dan keamanan maritim yang berlatar belakang birokrasi, akademisi, nahkoda kapal hingga praktisi usaha disektor angkutan laut dan pelabuhan Indonesia.
Dia menegaskan juklak dan juknis diperlukan agar semua unsur yang terlibat beleid itu memahami dengan tetap mengacu aturan Internasional tentang Convention for Save Containers (CSC) 1972 serta perundang-undangan yang berlaku di RI. "Sehingga inspektor yang ditunjuk nantinya dapat mengawasi kelaikan peti kemas sesuai kompetensinya,"paparnya.
Guna memastikan keselamatan pelayaran, imbuhnya, setiap kontainer yang gunakan sebagai bagian dari alat angkut harus memenuhi persyaratan konvensi CSC 1972, yakni peti kemas wajib dilengkapi dengan tanda lulus berupa plat pengesahan keselamatan (safety approval plate) yang ditempelkan permanen pada tempat yang mudah terlihat dan tidak mudah rusak.
Menurutnya, sebagai upaya masyarakat internasional untuk mencapai zero accident pelayaran, Indonesia sudah melakukan ratifikasi konvensi CSC 1972 melalui Keputusan Presiden No. 33/1989 serta melalui Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran yang menjadi payung hukum persyaratan kewajiban kelaikan kontainer sesuai pasal 149 ayat 910.
“Kata wajib dalam UU Pelayaran soal kelaikan kontainer merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi seluruh stakeholders dalam memberikan jaminan keselamatan dan keamanan. Pengabaian ketentuan ini akan memberikan implikasi hukum, bahkan kita akan dituduh oleh dunia Internasional tidak konsisten memaknai CSC 72,” ucapnya.
Sato mengatakan pada prinsipnya konvensi internasional CSC 1972 memiliki tujuan memastikan tingkat keselamatan serta menyeragamkan prosedur kelaikan kontainer dalam dunia shipping global.
Dwi Budi Sutrisno, Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Hubla Kemenhub, mengatakan Kemenhub kini sedang menyiapkan aturan internal untuk mekanisme menunjuk dan menetapkan inspektor sebagai pemeriksa kelaikan kontainer yang diajukan badan klasifikasi maupun lembaga surveyor sesuai PM 53/2018.
“Dalam waktu dekat aturan mekanisme itu sudah selesai, dan Kemenhub juga akan menggelar focus group discussion pada awal Oktober 2018 melibatkan semua stakedolders berkaitan dengan implementasi beleid itu,” ujar Dwi Budi.(k1)