Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pebisnis: Ekspor Produk Perkebunan Bakal Makin Melempem, Kenapa?

Para pengusaha di sektor industri perkebunan pesimistis bisa memperbaiki kinerja ekspor pada sepanjang sisa tahun ini.
Perkebunan kelapa sawit/Istimewa
Perkebunan kelapa sawit/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Para pengusaha di sektor industri perkebunan pesimistis bisa memperbaiki kinerja ekspor pada sepanjang sisa tahun ini.

Sekadar catatan, beberapa komoditas perkebunan yang termasuk ke dalam daftar komoditas ekspor utama Indonesia menurut versi Kementerian Perdagangan a.l. kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao.

Gabungan Pengusaha  Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan, ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) bakal terus mengalami penurunan hingga akhir tahun ini. Apalagi, volume ekspor CPO sudah merosot 6% pada semester I/2018 dari semester I/2017 menjadi hanya 14,16 juta ton.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gapki Togar Sitanggang mengatakan, pada semester I/2017, volume ekspor CPO mencapai 15,04 juta ton. Sepanjang tahun lalu, volume ekspor komoditas andalan tersebut tercatat tumbuh 23,6% secara year on year (yoy) menjadi 31,05 juta ton.

“Ekspor sawit pada Juli dan Agustus tahun ini memang sempat mengalami perbaikan yang bagus. Namun, kami tak yakin bisa memperbaiki ekspor hingga akhir tahun karena pada semester I/2018 mengalami penurunan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Minggu (16/9/2018).

Dia menjelaskan, permintaan sawit global pun hingga saat ini masih belum menunjukkan potensi perbaikan. Alasannya, India masih menerapkan bea masuk yang tinggi untuk melindungi  petani kedelai di negaranya, sedangkan Uni Eropa mulai mengurangi pemakaian biodiesel.

Pada semester I/2018, rerata harga sawit berada pada kisaran US$605—US$695 per ton. Permintaan global yang melemah juga menyebabkan harga CPO tidak pernah menembus angka US$700 per ton.

Untuk itu, Togar berharap pemerintah dapat menghapus pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya untuk dapat mendorong ekspor komoditas tersebut.

Sendada dengan pengusaha sawit, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Pranoto Soenarto tidak banyak berharap performa ekspor komoditas bahan baku minuman seduh itu dapat membaik pada sepanjang sisa tahun ini.

Dia mengatakan, dari total  rata-rata produksi kopi RI per tahun sejumlah 630.000 ton, sekitar 430.000—460.000 ton diekspor, sedangkan sisanya adalah untuk kebutuhan dalam negeri. Adapun, capaian nilai ekspor kopi per tahun rata-rata adalah US$1,2 miliar.

Namun, menurut Pranoto, ekspor kopi pada semester II/2018 diperkirakan mengalami penurunan karena masa panen kopi untuk jenis robusta sudah berlalu. Dengan demikian, ekspor kopi pada sisa tahun ini akan lebih ditumpukan ke jenis arabica dari Aceh dan Sumatra Utara.

Terlebih, harga kopi internasional saat ini berada di kisaran US$1.500—US$1.650 per ton. Padahal, biasanya harga kopi internasional mencapai US$4.000 per ton

“Harga kopi turun, saya harap memang ekspor kopi tak terpengaruh. Untuk kopi arabica yang premium bagus untuk devisa kita. [Ekspor kopi] Arabica ke Amerika, Eropa, dan Jepang. Untuk robusta ke negara Eropa Timur,” ujarnya.

Di sisi lain, sebutnya, Indonesia juga masih ketergantungan impor kopi. Pasalnya, sebagai negara dengan konsumsi kopi yang cukup tinggi, RI membutuhkan varietas kopi lain seperti dari Vietnam dan Brazil yang mendominasi 1% dari total impor kopi RI.

IMBAS GLOBAL

Pada perkembangan lain, Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane menuturkan, ekspor komoditas karet hingga akhir tahun ini diperkirakan terus menurun karena terimbas perang dagang China dan Amerika Serikat.

“Import tax Amerika membuat situasi tidak stabil. Jangan diharapkan ekspor komoditas ini akan baik hingga awal 2019,” tegasnya.

Untuk itu, dia meminta pemerintah segera mendesak perluasan cakupan konsorsium International Tripartite Rubber Council (ITRC) dari tiga negara—yaitu Malaysia, Indonesia, dan Tahiland—menjadi seluruh anggota Asean.

Dengan demikian, Asean dapat menguasai lebih dari 70% pangsa pasar karet dunia. Pasalnya, Vietnam juga menjadi negara pengekspor karet, meskipun negara Indochina tersebut masih membeli karet hasil produksi Laos dan Kamboja dengan harga murah serta membanjiri pasar.

Berbeda dengan pandangan pelaku industri perkebunan lainnya, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) memproyeksikan ekspor kakao pada semester II/2018 berpeluang mengalami kenaikan 5%—10% dari perolehan semester I/2018 senilai US$537 juta.

Ketua Umum AIKI Pieter Jasman menjelaskan, ekspor kakao sepanjang semester I/2018 mencapai 168.000 ton dengan nilai US$537 juta. Pada semester II/2018, dia meyakini ekspor kakao bisa naik karena tingginya permintaan cokleat jelang Natal dan Tahun Baru.

Sepanjang tahun lalu, ekspor kakao mencapai US$523 juta dengan volume 149.889 ton atau meningkat 12% dari capaian pada 2016.

“Pelemahan rupiah pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap ekspor kakao. Impor semester I/2018 mencapai 148.630 ton dengan nilai US$313,63 juta,” ujarnya.

Menurutnya, sektor industri kakao sangat berpotensi untuk menopang kinerja ekspor nonmigas dan mendatangkan devisa lebih banyak karena industri kakao saat ini memiliki kapasitas terpasang sebesar 800.000 ton.

Namun, utilisasinya tahun lalu hanya 58%. Di samping itu, sekitar 80% hasil olahan kakao Indonesia dijual ke luar negeri.

Kendati demikian, Pieter mengakui, produksi biji kakao di dalam negeri semakin menurun dalam 10 tahun terakhir.

“Produksi kakao tahun lalu hanya 260.000 ton. Akhirnya terpaksa harus impor bahan baku dari Afrika. Impor biji kakao tahun lalu sebanyak 226.000 ton dan tahun ini kemungkinan besar akan naik lagi,” ucapnya.

Pieter mengungkapkan, untuk impor biji kakao sendiri para pelaku usaha harus membayar bea masuk 5%, PPN 10% dan  PPh 2,5%, sehingga total pungutan impor kakao mencapai 17,5%.

Kondisi ini membuat industri kurang berdaya saing akibatnya impor kakao olahan berupa bubuk tahun lalu mencapai 18.500 ton.

“Karena untuk impor cocoa powder, bea masuknya 0% sejak berlakunya AFTA,” katanya.

Dia menilai pemerintah semestinya menganggarkan kembali program gerakan nasional (gernas) kakao untuk membantu para petani meningkatkan produksi biji kakao melalui bantuan bibit, pupuk, dan pendampingan mengingat 99% perkebunan kakao di Indonesia berupa perkebunan rakyat.

 

 

Perkembangan Ekspor Komoditas Perkebunan Andalan RI (miliar US$)

---------------------------------------------------------------------

Komoditas      2011    2012    2013    2014    2015    2016

---------------------------------------------------------------------

Sawit               17,26   17,60   15,83   17,46   15,38   14,36

Karet               11,76   7,86     6,90     4,74     3,69     3,69                

Kopi                1,03     1,24     1,17     1,03     1,19     1,00

Kakao              1,34     1,05     1,15     1,15     1,24     1,23

Teh                  0,16     0,15     0,15     0,13     0,12     0,11

---------------------------------------------------------------------

*) Sumber: data terbaru dari Outlook Kementerian Pertanian, diolah

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper