Bisnis.com, JAKARTA – Akibat pelemahan rupiah atas dolar Amerika Serikat, pengembang di Indonesia yang akan paling terdampak adalah golongan pengembang menengah.
Associate Director Investment Service Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi mengatakan pengembang menerima dampak atas pelemahan rupiah terhadap dolar adalah kesulitan untuk meneruskan pembangunan. Adapun, pengembang yang paling terdampak adalah pengembang untuk bangunan vertikal dari golongan menengah.
“Itu yang terdampak developer hunian bertingkat, gedung, lalu perkantoran. Kalau ruko tidak karena resiko mereka lebih rendah. Bangunan bertingkat itu kan komponen materialnya impor dan beli pakai dolar, seperti besi, baja, frame windownya,” ujar Aldi kepada Bisnis, Rabu (5/9/2018).
Dia menilai saat ini sedang terjadi kondisi over supply di pasar properti. Ambil saja contoh, beberapa proyek rumah tapak berhenti karena harus menghabiskan stok yang tersisa. Lain halnya dengan apartemen yang tidak bisa menghentikan proyek, mau tak mau harus jalan terus atau konsumen akan menuntut pengembalian uang.
Aldi membeberkan ada salah satu kasus pembangunan apartemen dengan total 600 unit, dan sudah laku 298 unit, tetapi terpaksa berhenti karena tidak bisa menanggung beban biaya pembangunan. Sementara di lain pihak, bunga juga terus meningkat tahun ke tahun dan membebani pelaku usaha. Alhasil, kata Aldi, beberapa pengembang mulai memutuskan menggerus target profit mereka guna melanjutkan pembangunan.
“Misal target profit awal 40% akhirnya di push sampai 25%. Sebab mereka juga masih harus bayar PPh 2,5%, PPn 10%, dan BPHTB 5%, ke pemerintah. Profitnya jadi kecil dan sangat berat, serba salah juga jadinya,” tutur Aldi.
Baca Juga
Selain menekan profit, sejumlah strategi yang akhirnya dilakukan pengembang menengah adalah menurunkan standar kualitas bangunan. Misalnya, dengan mengganti jenis baja dengan jenis yang lebih murah. Atau, dengan mengganti jenis lift dengan kecepatan yang lebih lambat dan daya angkut yang lebih kecil. Namun resiko pasca pembangunan adalah terjadinya penumpukan penghuni yang akan menggunakan lift.
“Kalau pengembang yang kelas atas mereka survive karena ada market tetap mereka. Sementara pengembang low juga tak terpengaruh, dia bisa mainkan harga dan orang akan tetap membeli. Yang middle ini yang kesulitan,” tambahnya.
Aldi beralasan, pengembang untuk kelas middle-low, masih bisa menjual dengan harga sekitar Rp600 juta, dan masih ada pembeli di Indonesia yang mampu membeli. Menurut dia, kondisi fundamental makro ekonomi di Indonesia masih cukup baik sehingga pembeli untuk segmen middle-low masih tinggi.